Rabu, 02 Mei 2012

"THESIS THEWY" (Kemampuan Komunikasi Sosial Anak Autis Tingkat Sekolah Dasar di SLB/C Darma Rena Ring Putra 2 YOGYAKARTA)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah

Komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk juga dalam bidang pendidikan. Anak-anak, terutama siswa sekolah dasar yang masih dalam tahap dasar untuk berpikir sehingga cenderung belum mampu merekam secara lengkap semua pesan yang disampaikan tersebut lebih dari satu. Kenyataannya tidak semua anak dapat melakukan komunikasi dengan baik, salah satu anak yang memiliki gangguan komunikasi adalah anak penyandang autis.
Ada tiga kelompok anak penyandang autis yaitu kelompok anak autis yang menyendiri, kelompok anak autis yang pasif dan kelompok anak autis yang aktif (Yatim, 2007). Anak-anak dari kelompok anak autis yang menyendiri biasanya jarang menggunakan kata-kata dan hanya bisa mengucapkan beberapa patah kata yang sederhana. Kelompok kedua adalah kelompok anak autis yang pasif, yang mempunyai ciri-ciri seperti memiliki pembendaharaan kata yang lebih banyak meskipun masih mengalami keterlambatan untuk bisa berbicara dibandingkan anak lain yang sebaya. Kelompok ketiga yaitu kelompok anak autis yang aktif. Anak-anak dari kelompok ini bertolak belakang dengan anak-anak dari kelompok autis yang menyendiri karena bisa lebih cepat berbicara dan memiliki pembendaharaan kata paling banyak. Meskipun anak-anak ini sudah bisa merangkai kata dengan baik, namun terkadang masih terselip kata-kata yang tidak bisa dimengerti (Yatim, 2007).
Bagi anak penyandang autis, komunikasi menjadi sesuatu yang sangat sulit. Anak penyandang autis mengalami kesulitan dalam berkomunikasi karena mereka mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya, sedangkan bahasa merupakan media utama dalam komunikasi. Apabila perkembangan bahasa mengalami hambatan, maka kemampuan komunikasi akan terhambat. Kemungkinan munculnya hambatan dapat disebabkan karena anak yang menjadi komunikator merupakan anak dengan kebutuhan khusus, yang mengalami hambatan dalam perkembangan perilakunya seperti kemampuan berbicara (Handojo, 2003).
Anak autis akan mengalami penyimpangan perkembangan sosial, kemampuan berbahasa dan kepedulian terhadap lingkungan sekitar (Yatim, 2007). Penyandang autis biasanya mengalami gangguan dalam bidang kognitif, afektif, dan sosial. Hal ini terlihat pada keterbatasan penyandang autis dalam beraktivitas, sering mengulang-ulang gerakan yang sama dan mengalami gangguan komunikasi dalam berhubungan dengan orang lain, meskipun secara fisik terlihat sehat (Soekanto, 2004).
Anak yang menderita autis mengalami lima gangguan yaitu dalam bidang interaksi sosial, komunikasi (verbal dan non verbal), perilaku, emosi, dan gangguan sensoris serta mengalami perkembangan yang terlambat. Gejala ini mulai tampak sejak masih kecil dan biasanya sebelum anak berusia tiga tahun. Anak-anak yang menderita autis mungkin dapat menjadi sangat sensitif atau bahkan tidak responsif terhadap ransangan-rangsangan dari kelima panca indranya, meliputi indra penglihatan, indra pendengaran, indra penciuman, indra perasa dan indra peraba (Saharso, 2005).
Anak-anak yang menderita autis sangat beragam, baik kemampuan yang dimiliki, tingkat intelegensi maupun perilakunya. Anak autis mengalami berbagai keterbatasan dan karakteristik yang dimiliki, maka anak-anak autis melakukan proses komunikasi yang berbeda dengan proses komunikasi yang dilakukan orang-orang pada umumnya. Komunikan yang dalam hal ini adalah siswa penyandang autis, memiliki kemampuan komunikasi yang terbatas dibandingkan siswa lain pada umumnya.
Siswa yang menderita autis dengan tingkat intelegensi dan kognitif yang rendah, tidak mampu berbicara dan berkomunikasi secara non verbal, memiliki perilaku menyakiti diri sendiri serta menunjukkan terbatasnya minat dan rutinitas yang dilakukan, diklasifikasikan sebagai low functioning autism. Sementara bagi siswa yang menunjukkan fungsi kognitif dan intelegensi yang tinggi, mampu menggunakan bahasa dan berbicara secara efektif serta menunjukkan kemampuan mengikuti rutinitas yang umum diklasifikasikan sebagai high functioning autism (Barlow, 2009). Oleh karena itu penyandang autis mempunyai cara tersendiri dalam berkomunikasi dengan orang lain disekitarnya karena mengalami kesulitan dalam berpikir, mengingat dan menggunakan bahasa.

Seiring dengan perkembangan jaman yang semakin maju, dunia kesehatan juga mengalami perkembangan yang pesat. Banyak penyakit yang ditemukan walau secara relatif masih ada yang belum bisa disembuhkan. Belakangan gangguan autis semakin sering terdengar. Pengidap gangguan ini disebut dengan anak autis (autistic child). Gangguan yang diidap oleh anak-anak ini cukup membuat panik orang tua, karena anak dengan gangguan ini sulit dan tidak dapat diajak berkomunikasi. Anak-anak dengan gangguan ini memiliki kehidupan sendiri yang terbentuk dari fantasinya. Tingkah laku anak yang seperti ini memerlukan pola asuh yang tepat dari lingkungan sekitarnya, khususnya dari orang tua yang diharapkan mampu membantu anak keluar dari belenggu gangguan autis ini. Di Indonesia, pola pengasuhan khusus bagi anak autis telah menjadi perhatian Negara (http://www.autis.info/index.php/artikel-makalah/artikel/261-penderita-autis-pendidikan-serta-penanganan?tmpl=component&print=1&page=).
Menurut Safaria (2005), kriteria diagnostik pada anak dengan autis adalah timbul sebelum usia 30 bulan, secara pervasive (menyeluruh) kurang responsif terhadap orang lain sehingga mengakibatkan kegagalan membina perilaku melekat dengan orang lain, gangguan yang sangat berat dalam kemampuan perkembangan bahasa, apabila dapat berbicara pola bicaranya sangat aneh, tidak terdapat halusinsasi, waham atau pelanggaran asosiasi dan inkoherensi seperti pada skizofrenia. Kondisi ini menjadi sulit diatasi serta akan berubah menjadi stressor yang berat bagi orang tua dalam menghadapi anak yang menderita autis, oleh karena itu orang tua perlu dibekali pengetahuan yang tepat tentang gangguan ini.
Para ilmuwan mengira autis adalah gangguan genetik, namun riset gen tidak dapat mengidentifikasikan lokasi pada suatu gen yang merupakan area utama kerusakan pada autis. Anak dengan gangguan autis tidak memiliki kelainan fisik pada wajah dan tubuh seperti pada anak-anak yang mengalami kerusakan kromosom. Selain genetika murni yang dapat menyebabkan autis, kurang sempurna bentuk gen C4B (suatu bentuk gen yang mempengaruhi system genetika) akan menunjukkan terjadinya frekuensi yang meningkat pada autis (Candless, 2003).
Pada spectrum autism, sistem imun tubuh anak tidak teratur. Pada beberapa hal terlalu aktif, namun dalam beberapa hal lain kurang optimal. Penyebab anak autis sering Nampak tidak sadar adalah penumpukkan dari substansi morfin yang dikenal dengan dermorfin. Kecendrungan autis lebih sering terjadi pada anak kembar. Prevalansi autis pada anak laki-laki empat kali lebih besar daripada anak perempuan. Karakteristik umum anak dengan autis adalah kecendrungan tidak peduli pada orang lain dan kelihatan seperti hidup dalam dunianya sendiri hal ini dikemukakan oleh Warren (dalam Candless, 2003).
Banyak terapi dan sekolah khusus yang ditawarkan bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus ini. Sekolah ini biasanya dibentuk dengan tujuan agar dapat mengubah perilaku anak yang tidak mau peduli dengan keadaan sekelilingnya sehingga mampu berinteraksi dengan baik dalam lingkungan pertumbuhannya. Namun,alangkah lebih baik lagi jika terapi yang didapat oleh anak dari sekolah yang dikhususkan bagi mereka yang mengidap gangguan autis ini diiringi dengan pola asuh yang tepat dari orang tuanya. Menurut Williams (2003), autis terjadi karena mekanisme yang mengontrol emosi tidak berfungsi dengan baik yang mengakibatkan tubuh dan pikiran yang relatif normal tidak mampu mengungkapkan kemampuan diri secara layak. Penyebabnya diperkirakan karena sebelum seorang anak autistic dilahirkan, anak autis menolak pesan-pesan yang dikirimkan ibunya karena pesan-pesan itu membuatnya kewalahan dan menyakitkan. Sehingga anak tersebut tidak terbiasa menyalurkan kemampuan verbalnya secara terarah karena pengetahuan verbal yang dimilikinya terbatas.
SLB Dharma Rena adalah salah satu SLB yang mendidik anak berkebutuhan khusus, yaitu salah satunya anak autis. Wawancara dengan guru di sekolah diketahui bahwa anak autis yaitu anak yang memiliki kendala dalam berkomunikasi. Anak autis kesulitan dalam menangkap pesan yang disampaikan oleh lawan bicaranya. Secara umum, anak autis memiliki kendala dalam berkomunikasi secara verbal maupun non verbal.
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas dapat diketahui bahwa komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk juga dalam bidang pendidikan. Anak-anak, terutama siswa sekolah dasar, masih dalam tahap dasar untuk berpikir sehingga cenderung belum mampu merekam secara lengkap semua pesan yang disampaikan, permasalahan ini dipilih untuk dijelaskan lebih lanjut, guna memberikan pengetahuan yang kongkret mengenai kemampuan komunikasi pada anak autis tingkat sekolah dasar.


A.    Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
1.    Kemampuan komunikasi sosial anak autis dengan guru atau terapis di SLB/C Darma Rena Ring Putra 2, Yogyakarta.
2.    Kemampuan komunikasi sosial anak autis dengan teman subyek yang ada di SLB/C Darma Rena Ring Putra 2, Yogyakarta.
3.    Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan komunikasi sosial penyandang autis.
B.    Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah :
1.    Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengembangan psikologi dalam bidang psikologi kepribadian, psikologi abnormal dan psikologi perkembangan, yang berkaitan dengan masalah kemampuan komunikasi sosial pada anak autis tingkat sekolah dasar.
2.    Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat memberikan wawasan mengenai bagaimana proses komunikasi sosial pada anak autis, serta memberikan manfaat kepada guru, baik yang ada di SLB/C Darma Rena Ring Putra 2, Yogyakarta, maupun sekolah-sekolah berkebutuhan khusus lainnya. Manfaat lainnya dari penelitian ini adalah sebagai bahan informasi dan evaluasi mengenai proses komunikasi anak autis selama di sekolah. Sehingga dapat membantu dalam pendampingan anak autis terutama untujk meningkatkan kemampuan komunikasi sosial.
C.    Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai kemampuan komunikasi sosial pada anak autis sepengatahuan penulis belum pernah diteliti sebelumnya. Adapun penelitian yang mendukung tentang kemampuan komunikasi sosial pada anak autis adalah:
1.    I.G.A. Alit Suryawati (2010), dengan judul penelitian Model komunikasi penanganan anak autis melalui terapi bicara metode lovaas di Denpasar. Metode penelitian menggunakan analisis deskriptif, teknik pengumpulan data, penulis mempergunakan interview dan wawancara, dokumentasi, pengamatan atau observasi dari angket dan wawancara. Data proses teknik analisis terfokus pada deskriptif pemaparan murni yang ditunjang data hasil penyebaran kuesioner atau dikenal analisis tabulasi.
Sekolah Dasar Kuncup Bunga adalah sekolah pertama di Bali yang berlokasi di Jalan Hayam Wuruk No. 197, Tanjung Bungkak. SD ini menerima kelas anak dengan keperluan khusus (seperti autis) dan dasar dibuatnya sekolah khusus ini adalah untuk membantu anak yang bermasalah dalam konsentrasi belajar.
2.    Veva Lenenawaty Efek (2008) penerapan compic terhadap kemampuan komunikasi anak autis non verbal di Semarang. Metode penelitian menggunakan metode penelitian eksperimen. Jenis penelitian eksperimen single subject design dengan desain A-B-A. Pengukuran yang dilakukan meliputi pengukuran baseline, treatment, paska perlakuan dan evaluasi. Subjek di dalam penelitian hanya satu orang subjek. Empat akan dilakukan dengan menggunakan alat ukur yang sama yaitu rating scale kemampuan komunikasi yang telah telah disusun oleh peneliti. Ciri-ciri subjek penelitian adalah sebagai berikut:
a.    Anak yang telah diagnosa autis non verbal, laki-laki maun perempuan.
b.    Memiliki kepatuhan dan dapat menerima instruksi.
Metode pengumpulan data meliputi observasi (deskriptif, rating scale kemampuan     komunikasi, lembar penilaian) dan wawancara. Hasil penelitian yang dilakukan dengan melakukan pengujian terhadap hipotesis yang diajukan menunjukkan bahwa ada peningkatan sekor rating scale kemampuan komunikasi subjek setelah dilakukan penerapan treatment dengan menggunakan Computerised Pictographs for Communication (COMPIC) dapat meningkatkan kemampuan komunikasi subjek, hal ini dapat terlihat dari sekor dan hasil observasi selama penelitian.
Hal yang membedakan dalam penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah untuk mengetahui bagaimana proses dan kemampuan komunikasi sosial pada siswa penyandang autis, serta memberikan manfaat kepada guru, di SLB/C Darma Rena Ring Putra 2, Yogyakarta. Perbedaan lain adalah variabel yaitu variabel bebas pengetahuan guru tentang komunikasi pada anak autis, dan variabel terikat perilaku anak dalam berkomunikasi. Subyek penelitian yaitu anak autis berusia 7-10 tahun.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    AUTIS
1.    Pengertian Autis
Autism berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Penyandang autis seakan-akan hidup di dunianya sendiri (Danuatmadja, 2003). Autis adalah suatu gangguan perkembangan yang meliputi kesulitan komunkasi, perilaku dan kemampuan berinteraksi (aams, 2003). Menurut Budiman (2000) autis adalah gangguan perkembangan yang disebabkan oleh adanya kerusakan syaraf mengakibatkan adanya gangguan perkembangan komunikasi, perilaku kemampuan sosial dan belajar. Sedangkan menurut dr. Rimland yang dikutip oleh Seroussi (2004) menyimpulkan bahwa autis bukan kelainan psikologis yang disebabkan oleh kurangnya kasih sayang ibu melainkan karena kelainan syaraf dan fisiologis.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa autis bukanlah kelainan psikologis akibat kurangnya kasih sayang maupun kurangnya sosialisasi melainkan adanya kerusakan pada saraf otak sehingga menyebabkan gangguan komunikasi, interaksi sosial dan perilaku.


Autis pertama kali ditemukan oleh Kanner pada tahun 1943, (falam Yatim, 2003) yang mendeskripsikan gangguan ini sebagai ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain. Autis termasuk kategori gangguan perkembangan karena fungsi psikologis anak dengan autis terganggu, gangguannya berupa distorsi atau penyimpangan dalam perkembangan (Safaria, 2005). Autis pada anak-anak merupakan gangguan perkembangan yang ditandai oleh adanya abnormalitas yang muncul sebelum usia tiga tahun dan dengan ciri fungsi yang abnormal dalam 3 bidang dari interaksi sosial, komunikasi dan perilaku yang terbatas dan berulang. Gangguan ini dijumpai 3 sampai 4 kali lebih banyak pada anak laki-laki dibanding dengan anak perempuan (Muslim, 2001).
Terdapat banyak teori yang berkenan dengan tanda-tanda dan mekanisme rusaknya lingkungan yang memicu rontoknya ketahanan fisik, disfungsi fisik, mental, dan emosional yang mengakibatkan timbulnya kebutuhan khusus pada anak. Namun tidak ada studi yang secara pasti telah menunjukkan bahwa toksin lingkungan atau kontaminasi tertentu sebagai pemicu gangguan autis (Candless, 2003). Autis adalah sindrom kompleks yang melibatkan masalah genetika, pencernaan, dan sistem imun tubuh, invasi virus, jamur dan bakteri pathogen lainnya, juga ketidak mampuan untuk mengeluarkan efek racun dari pestisida serta logam-logam berat (Candless, 2003).

Menurut Williams (2003), autis berarti tidak berfungsinya sejumlah mekanisme yang mengontrol emosi, yang mengakibatkan tubuh dan pikiran yang relatif normal tidak dapat mengungkapkan diri secara layak. Yatim (2002), mengatakan bahwa autis adalah suatu keadaan dimana seorang anak berbuat semuanya sendiri baik cara berfikir maupun berperilaku. Pendapat lainnya Danuatmaja (2003), mengatakan bahwa autis merupakan suatu kumpulan sindrom akibat keruskan syaraf. Penyakit ini menganggu perkembangan anak, ditunjukkan dengan adanya penyimpangan perkembangan. Chaplin (2001), mengatakan autis atau kecendrungan menyendiri merupakan cara berfikir yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau oleh diri sendiri.
Autis diartikan sebagai gangguan perkembangan bersifat kompleks dan butuh penanganan terpadu. Sumartini (dalam Yuhendri, 2003) menyatakan bahwa autis ditandai dengan ciri fungsi abnormal yang muncul pada anak dalam tiga bidang, interaksi sosial, komunikasi dan perilaku yang terbatas dan berulang, sehingga mereka tidak mampu mengekspresikan perasaan maupun keinginannya. Sementara menurut Baron-Cohen (http://www.anneahira.com/pengertian-autis.htm) autis adalah suatu kondisi sejak lahir atau saat dibawah usia lima tahun, yang membuat seseorang tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi normal. Karakteristik penyandang autis biasanya cenderung hiperaktif, kurang fokus terhadap lawan bicara, dan membatasi interaksi mereka dengan lingkungan sekitarnya. Meski tidak dapat disembuhkan, rehabilitasi dan pendidikan yang intensif dan ekstensif dapat mengurangi gejala autis.
Safaria (2005), mengatakan anak dengan gangguan autis memperlihatkan perilaku kurang respon terhadap orang lain, mengalami masalah yang berat dalam hal berkomunikasi yang berkembang pada usia 30 bulan pertama. Perkembangan gangguan ini disebut dengan autism infantile (anak dengan gangguan autis). Menurut Yustinus (2006) autis adalah gangguan perkembangan mencakup gangguan kemampuan berkomunikasi dan berhubungan secara emosional dengan orang lain.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas penulis menyimpulkan bahwa autis adalah cara berfikir atau perilaku anak yang berbentuk berdasarkan daya fikir dan khayalannya sendiri, kurang mampu berkomunikasi baik secara verbal maupun non verbal, karena selalu menolak kontak fisik dan kurang mampu memahami bahasa yang diberikan kepadanya sebagai alat komunikasi, serta tidak memiliki keinginan untuk dapat melakukan kontak sosial.
2.    Penyebab Autis
Gangguan autistik terjadi dengan angka 2 sampai 5 kasus per 10.000 anak (0,02 – 0,05 persen) di bawah usia 12 tahun. Jika retardasi mental berat dengan ciri autistik dimasukkan, angka dapat meningkat sampai setinggi 20 per 10.000. Pada sebagian besar kasus autis mulai sebelum 36 bulan tetapi mungkin tidak terlihat bagi orang tua, tergantung pada kesadaran mereka dan keparahan gangguan. Gangguan autistik ditemukan lebih sering pada anak laki – laki dibandingkan dengan anak perempuan. Tingkat keparahan pada anak autis tergantung dari berat ringannya gejala yang tampak (Sadock, 2000).
                       Autis disebabkan oleh adanya hal-hal berikut (Yatim, 2002):
a.    Gangguan susunan syaraf pusat
Ditemukan adanya kelainan neuroanatomi pada beberapa tempat di dalam otak anak autis. Anak autis mengalami pengecilan otak kecil terutama pada lobus VI-VII. Seharusnya di lobus VI-VII banyak terdapat sel purkinje. Namun pada anak autis jumlah sel purkinje sangat kurang. Akibatnya, produksi serotonin kurang, menyebabkan kacaunya proses penyaluran informasi antar otak. Selain itu ditemukan kelainan struktur pada pusat emosi di dalam otak sehingga emosi anak autis sering terganggu.
b.    Genetika (faktor keturunan)
Ditengarai adanya kelainan kromosom pada anak autis, namun kelainan itu tidak selalu pada kromosom yang sama. Salah satu teori genetika yang cukup berkembang selama ini adalah terdapatnya copy beberapa gen dan kromosom ekstra yang berperan memicu munculnya autis dalam sebuah keluarga. Para peneliti dengan bantuan sebuah alat teknologi canggih digital yang dikembangkan di Amerika yang digunakan untuk membandingkan DNA dari anggota-anggota keluarga yang sehat dan yang menyandang autis.
c.    Gangguan sistem pencernaan
Pada anak autis biasanya terdapat kekurangan enzim zekretin. Anak dengan gangguan autis sering mengalami gangguan mencerna gluten dan kasein. Menurut P. Deufemia, anak dengan gangguan autis banyak mengalami leaky guts (kebocoran usus). Pada usus yang normal sejumlah kecil peptida dapat juga merembes ke aliran darah, tetapi sistem imun tubuh dapat segera mengatasinya. Peptida berasal dari gluten (gluteomorphin) dan peptida kasein (caseomorphin) yang tidak tercerna sempurna, bersama aliran darah masuk ke otak lalu ke reseptor “opioid”. Peningkatan aktivitas opioid akan menyebabkan gangguan susunan saraf pusat dan dapat berpengaruh terhadap persepsi, emosi, perilaku dan sensitivitas. Opioid adalah zat yang bekerjanya mirip morphine dan secara alami dikenal sebagai “beta endorphin”.
d.    Infeksi virus dan jamur
Pada kehamilan trimester pertama yaitu 0-4 bulan, faktor pemicu ini biasanya terdiri dari infeksi toksoplasma, rubella, candida. Bahkan sesudah lahir (post partum) juga dapat pengaruh dari berbagai pemicu, misalnya infeksi berat-ringan pada bayi, imunisasi MMR dan Hepatitis B (mengenai dua jenis imunisasi ini masih kontroversi).
Tumbuhnya jamur terlebih diusus anak sebagai akibat pemakaian antibiotika yang berlebihan, dapat menyebabkan kebocoran usus (leakygut syndrome) dan ketidaksempurnanya pencernaan kasein dan glutein.
e.    Keracunan logam berat
Berdasarkan tes laboratorium yang dilakukan pada rambut dan darah ditemukan kandungan logam berat dan beracun pada anak autis. Diduga kemampuan sekresi logam berat dari tubuh terganggu secara genetic. Logam berat seperti : arsenic (As), antimony (Sb), admium (Kd), air raksa (Hg), dan timbale (Pb) adalah racun otak yang sangat kuat.
3.    Gejala Pada Anak Autis
Menurut Yatim (2003) gejala penyakit atau kelainan perilaku pada anak autis, antara lain:
a.    Mengalami kesulitan untuk menjalin pergaulan yang rapat.
Gejala ini ditandai dengan adanya penghindaran kontak mata bahkan mengacuhkan apabila diberikan kontak fisik seperti dipeluk dan diraba meskipun oleh orang tuanya sendiri yang bertujuan untuk memperlihatkan rasa kasih sayang orang tua pada anaknya.
b.    Sangat kurang menggunakan bahasa.
Sebab anak jarang menyimak pembicaraan yang diajukan padanya. Hal yang biasa dilakukan hanyalah mengulang kata-kata yang diucapkan padanya.
c.    Sangat lemah kemampuan berkomunikasi dan selalu menghindari kontak visual.
d.    Sangat peka terhadap perubahan lingkungan.
Anak akan bereaksi secara emosional kadang bereaksi keras meskipun hanya perubahan kecil dari kegiatan rutin, misalnya perubahan warna kursi atau baju.
e.    Setiap perubahan selalu dianggap buruk. Perubahan yang baik pun tidak pernah dianggap baik atau surprise.
f.    Memperlihatkan gerakan-gerakan tubuh yang aneh, misalnya selagi duduk begerak kedepan dan kebelakang.
g.    Sebagian kecil anak autis menunjukkan masalah perilaku yang sangat menyimpang seperti melukai diri sendiri, baik karena gigitan sendiri atau menggunakan pisau, membenturkan kepala bahkan kadang-kadang menyerang teman bergaulnya sendiri.
Pencetus timbulnya kelainan perilaku tersebut bisa saja hanya karena masalah kecewa atau hanya karena masalah lingkungan keseharian yang rutin.
Adapun gejala-gejala gangguan autis antara lain (Yatim, 2002):
a.    Melakukan permainan yang tidak biasa dan berulang-ulang
b.    Keterkaitan yang tidak biasa terhadap obyek
c.    Tidak takut atau peduli pada bahaya
d.    Tidak peka terhadap rasa sakit
e.    Tertawa tanpa sebab yang jelas
f.    Sulit mengekspresikan kebutuhan
g.    Menekankan sesuatu harus sama
h.    Menghindari kontak mata
i.    Tidak suka dimanja
j.    Lebih suka menyendiri
k.    Cenderung meniru dan mengulang kata
l.    Tidak peka terhadap suara
m.    Suka memutar obyek atau diri sendiri
n.    Sulit berinteraksi dengan orang lain
Gejala-gejala tersebut adalah gejala-gejala yang dapat dilihat secara langsung tanpa melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Namun, untuk lebih jelasnya diharapkan orang tua berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter khusus yang menangani penyimpangan perilaku anak. Oleh karena itu setiap orang tua diharapkan dapat lebih peka dalam mengasuh anaknya agar dapat terdeteksi lebih dini jika anak memang benar mengidap autis.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa gejala anak autis adakalanya dapat diamati secara langsung dari perilaku si anak, yaitu sering menyendiri dan asyik dengan kesendiriannya. Namun ada juga terlebih dahulu melalui diagnosis dari ahli misalnya, psikiater.
4.    Kriteria Diagnosis Autis
Menurut Fadhli, gangguan yang dialami oleh anak autis adalah sebagai berikut (Fadhli, 2010):
a.    Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang ditunjukkan oleh paling sedikit dua diantara yang berikut ini :
1)    Ciri gangguan yang jelas dalam penggunaan berbagai perilaku nonverbal (bukan lisan), seperti kontak mata, ekspresi wajah, gesture, dan gerak isyarat untuk melakukan interaksi sosial.
2)    Ketidakmampuan melakukan hubungan pertemanan sebaya yang sesuai dengan tingkat perkembangannya.
3)    Ketidakmampuan turut merasakan kegembiraan orang lain.
b.    Gangguan kualitatif dalam berkomunikasi yang ditunjukkan paling sedikit salah satu dari yang berikut ini :
1)    Keterlambatan atau kekurangan secara menyeluruh dalam berbahasa lisan (tidak disertai usaha untuk mengimbanginya dengan penggunaan gesture atau mimik muka sebagai cara alternative dalam berkomunikasi)
2)    Ciri gangguan yang jelas pada kemampuan untuk memulai melanjutkan pembicaraan dengan orang lain meskipun dalam percakapan sederhana.
3)    Penggunaan bahasa yang repetitive (diulang-ulang) atau stereotip (meniru-niru) atau bersifat idiosinkratik (aneh). Kurang beragamnya spontanitas dalam permainan pura-pura atau meniru orang lain yang sesuai dengan perkembangannya.
c.    Pola minat perilaku yang terbatas, repetitive dan stereotip seperti yang ditunjukkan oleh paling sedikit satu dari yang berikut ini :
1)    Meliputi keasyikan dengan satu atau lebih pola minat yang terbatas atau stereotip yang bersifat abnormal baik dalam intensitas maupun fokus.
2)    Kepatuhan yang tampaknya didorong oleh rutinitas atau ritual spesifik (kebiasaan tertentu) yang nonfungsional (tidak berhubungan dengan fungsi).
3)    Perilaku gerakan stereotip dan repetitive (seperti terus – menerus membuka genggaman, atau memuntir jari atau tangan atau menggerakkan tubuh dengan cara yang komplek)
4)    Keasyikan yang terus menerus terhadap bagian – bagian dari sebuah benda.
Menurut Yatim (2002) kriteria diagnosis autis, antara lain:
a.    Perkembangan anak menurun dan tidak normal, yang mulai terlihat sejak usia 3 tahun, disertai salah satu gejala berikut:
1)    Tidak menggunakan bahasa yang wajar dalam berkomunikasi sehari-hari.
2)    Tidak mampu menciptakan hubungan persahabatan yang akrab dan hangat.
3)    Tidak mampu berakting (peran), misalnya kadang-kadang berperan sebagai bapak, guru, dan lain-lain.
b.    Paling tidak ditemukan gejala-gejala yang nampak secara fisik.
c.     Gambaran klinik. Tidak semata-mata disebabkan oleh gangguan dalam berbahasa,dan secara sekunder timbul masalah sosio-emosional yang tidak pernah akrab dengan orang sekitarnya disertai keterlambatan mental, dan gangguan emosi perilaku
  Menurut Safaria (2005), kriteria diagnosis autis yaitu:
a.    Timbul sebelum usia 30 bulan.
b.    Secara pervasif (menyeluruh dan meresap dalam) kurang responsif terhadap orang lain sehingga mengakibatkan kegagalan membina perilaku melekat dengan orang lain.
c.    Gangguan yang sangat berat dalam kemampuan perkembangan bahasa.
d.    Apabila dapat berbicara pola berbicaranya sangat aneh, misalnya bahasa metaforik atau memutarbalikkan penggunaan kata ganti (misal: kata “kamu” untuk menyebut “siapa”).
e.    Respon yang aneh terhadap berbagai keadaan dan aspek lingkungan, misalnya menolak perubahan, minat yang aneh atau terdapat kelekatan erat terhadap benda.
f.    Tidak terdapat halusinasi, waham atau pelonggaran asosiasi dan inkoherensi seperti pada schizophrenia.
Menurut Maslim (2001) autis termasuk dalam gangguan perkembangan pervasif. Gangguan autis ini ditandai oleh abnormalitas kualitatif dalam interaksi sosial dan pola komunikasi, kecendrungan minat dan gerakan yang terbatas, stereotipik, berulang. Abnormalitas kualitatif ini merupakan gambaran yang meluas (pervasif) dari fungsi individu dalam segala situasi, meskipun dapat berbeda dalam derajat keparahannya. Pada kebanyakan kasus, terdapat riwayat perkembangan yang abnormal sejak masa bayi dan kebanyakan kondisinya nyata dalam 5 tahun pertama.
Adapun ciri dari anak penderita autis dalam hal berkomunikasi adalah sebagai berikut (Jamila, 2007):
a.    perkembangan bahasa yang lambat
b.    terlihat seperti memiliki masalah pendengaran dan tidak memperhatikan apa yang dikatakan orang lain
c.    jarang berbicara
d.    sulit diajak berbicara
e.    kadang bias mengatakan sesuatu tapi hanya sebentar saja
f.    perkataan yang disampaikan tidak sesuai dengan pertanyaan
g.    mengeluarkan bahasa yang tidak dapat dipahami orang lain
h.    meniru perkataan orang lain (echolalia)
i.    dapat meniru perkataan atau nyanyian tanpa mengerti maksudnya
j.    suka menarik tangan orang lain bila meminta sesuatu
Berdasarkan uraian di atas, maka kriteria anak autis yaitu dapat dilihat dari perkembangan anak, dimana perkembangan penderita biasanya menurun dan tidak normal, yang mulai terlihat sejak usia 3 tahun; ditunjukkan dengan gejala yang Nampak; dan terdapat gambaran klinik.
5.    Terapi untuk Anak Autis
Gangguan di otak tidak dapat disembuhkan, tapi dapat ditanggulangi dengan terapi dini, terpadu dan intensif. Gejala-gejala autis dapat dikurangi, bahkan dihilangkan sehingga anak bisa bergaul secara normal, tumbuh sebagai orang dewasa yang sehat, berkarya bahkan membina keluarga.
Berikut ini beberapa jenis terapi bagi anak autis (Melly Budhiman, 1998).
a.    Terapi medikamentosa
Pemakaian obat diarahkan untuk memperbaiki respon anak sehingga diberikan obat psikotropika seperti obat – obat antidepresan yang bisa memberikan keseimbangan antara neurotransmitter, serotonin dan dopamine. Yang diinginkan dalam pemakaian obat ini adalah dosis yang paling minimal namun paling efektif dan tanpa efek samping. Bila anak mengalami kemajuan, maka pemberian obat dapat dikurangi, bahkan dapat pula dihentikan.

b.    Terapi biomedis
Terapi ini bertujuan untuk memperbaiki metabolisme tubuh melalui diet dan pemberian suplemen. Terapi ini dilakukan berdasarkan banyaknya gangguan pencernaan, alergi, daya tahan tubuh rentan, dan keracunan logam berat. Berbagai gangguan fungsi tubuh ini akhirnya mempengaruhi fungsi otak.
c.    Terapi wicara
Hampir semua penyandang autis menderita gangguan bicara dan berbahasa. Oleh karena itu terapi wicara bagi penyandang autis merupakan suatu keharusan. Tahun 1977 Lovaas menggunakan pendekatan Behavioris – model operant conditioning. Anak yang mengalami hambatan bicara di latih dengan proses pemberian reinforcement dan meniru vokalisasi terapis.
d.    Terapi perilaku
Terapi ini bertujuan agar anak autis dapat mengurangi perilaku tidak wajar dan menggantinya dengan perilaku yang bisa diterima di masyarakat.
e.    Terapi okupasi
Terapi ini bertujuan agar anak autis yang mempunyai perkembangan motorik kurang baik, antara lain gerak – geriknya kasar dan kurang luwes. Terapi okupasi akan menguatkan dan, memperbaiki koordinasi, dan keterlambatan otot halus anak.



f.    Alternatif terapi lainnya :
1)    Terapi akupuntur
Dengan terapi tusuk jarum diharapkan dapat menstimulasi system saraf pada otak hingga bekerja kembali.
2)    Terapi musik
Musik dapat memberikan getaran gelombang yang akan berpengaruh terhadap permukaan membrane otak. Secara tidak langsung yang akan berpengaruh terhadap permukaan membrane otak sehingga dapat memperbaiki fungsi fisiologis. Harapannya fungsi indera pendengaran sekaligus merangsang kemampuan bicara.
3)    Terapi lumba-lumba
DAT / Dolphin Assisted Theraphy adalah terapi yang digunakan dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan berbicara dan kemampuan motorik pada anak dan orang dewasa dengan diagnosis gangguan perkembangan fisik dan emosi seperti autis, dan retardasi mental. Teori yang mendasari terapi ini adalah anak dengan kebutuhan khusus yang berinteraksi dengan lumba-lumba akan meningkatkan kemampuan untuk berkonsentrasi. Program ini digunakan untuk merubah perilaku yaitu memberikan penguatan pada anak-anak melalui interaksi dengan lumba-lumba.


Berdasarkan penjelasan di atas, pada dasarnya anak autis dapat disembuhkan dengan menjalani sejumlah terapi yaitu terapi medikamentosa; terapi biomedis; terapi wicara; terapi perilaku; terapi okupasi; dan alternatif terapi lainnya seperti terapi akupuntur, terapi music dan terapi Lumba-Lumba.

B. Komunikasi Sosial
1.    Pengertian Komunikasi Sosial
Komunikasi atau communicaton berasal dari bahasa Latin communis yang berarti sama Communico, communicatio atau communicare yang berarti membuat sama (make to common). Secara sederhana komuniikasi dapat terjadi apabila ada kesamaan antara penyampaian pesan dan orang yang menerima pesan. Komunikasi bergantung pada kemampuan kita untuk dapat memahami satu dengan yang lainnya (communication depends on our ability to understand one another). Komunikasi digunakan untuk mengungkapkan kebutuhan organis. Sinyal-sinyal kimiawi pada organisme awal digunakan untuk reproduksi. Seiring dengan evolusi kehidupan, maka sinyal-sinyal kimiawi primitif yang digunakan dalam berkomunikasi juga ikut berevolusi dan membuka peluang terjadinya perilaku yang lebih rumit seperti tarian kawin pada ikan.
Komunikasi merupakan proses transaksional, meliputi pemisahan dan pemilihan lambang kognitif sehingga dapat membantu orang lain mengeluarkan hasil pengalamannya dengan merespon yang sama dengan yang dimaksud sumber (Turner, 2008).
Dalam ilmu jiwa komunikasi memiliki makna yang luas yaitu penyampaian energi, gelombang suara tanda di antara tempat, sistem atau organisme. Rangsangan yang dibuat suatu organisme yang mengandung makna bagi organisme lain sehingga berpengaruh terhadap perilaku. Komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan dari sumber ke sasaran/penerima pesan.
Komunikasi adalah pertukaran pikiran atau keterangan dalam rangka menciptakan rasa saling mengerti dan saling percaya, demi terwujudnya hubungan yang baik antara seseorang dengan orang lain. Komunikasi terdiri dari 2 sistem :
a.    Encoding (memberi rangsangan atau stimulus)
Terdiri dari komponen :
1)    Transmitter 1 (T1) : bicara
2)    Transmitter 2 (T2) : gerakan tangan dan lengan
3)    Transmitter 3 (T3) : ekspresi wajah
4)    Transmitter 4 (T4) : gerakan tubuh yang lain
b.    Decoding (menerima dan memberi tanggapan)
Terdiri dari komponen :
1)    Sensor 1 (S1) : pendengaran
2)    Sensor 2 (S2) : penglihatan
3)    Sensor 3 (S3) : taktil dan propioseptif.



Proses yang terjadi dalam komunikasi :
a.    Pesan yang direalisasikan dalam bentuk simbol-simbol bunyi.
Pengembangan sangat berkaitan erat dengan fungsi pendengaran, disamping fungsi sensor lainnya. Komunikasi ini disebut komunikasi verbal atau pesan linguistic yaitu pertukaran informasi dengan menggunakan bahasa.
b.    Ada pesan yang direalisasikan dalam bentuk gerakan.
Disebut komunikasi non verbal yaitu arah yang digunakan untuk menyampaikan pesan dengan bahasa isyarat.
Jadi komunikasi merupakan proses yang melibatkan unsure pemikiran, bagaimana ide-ide atau pengalaman dapat dengan mudah dirumuskan ke dalam tatanan bunyi bahasa sehingga terangkai dalam tatanan kalimat yang bagus serta adanya perubahan tarikan-tarikan otot wajah, ekspresi wajah, gerakan tangan dan lengan, atau gerakan tubuh yang lainnya. Menurut Morley dalam Atmaja bahasa adalah istilah untuk menjelaskan  makna dan pikiran yang dirumuskan ke dalam sistem linguistik, sebagai dasar mengangkut pesan. Bahasa adalah sistem dari simbol-simbol vocal yang menjadi kesepatan masyarakat.
Adapun manfaat komunikasi yang dimiliki oleh anak autis yaitu:
a.    Membantu mengerti apa yang diinginkan dan dirasakan oleh anak autis
b.    Mengetahui kemampuan dan kecerdasan yang sebenarnya
c.    Orangtua bisa mengembangkan hubungan emosional yang dekat dengan anak autis.
d.    Kemungkinan masuk sekolah umum lebih besar
e.    Bila anak bisa bicara, maka anak akan lebih bisa diatur dan berkembang lebih pesat.
Salah satu ciri utama pada gangguan autistic adalah hambatan yang besar dalam berkomunikasi dan berbicara. Penderita autis tidak dapat memberikan tanggapan yang baik terhadap lawan bicaranya. Orangtua umumnya amat berharap anaknya segera dapat bicara.
Manusia berkomunikasi untuk membagi pengetahuan dan pengalaman. Bentuk umum komunikasi manusia termasuk bahasa sinyal, bicara, tulisan, gerakan, dan penyiaran Komunikasi dapat berupa interaktif, komunikasi transaktif, komunikasi bertujuan, atau komunikasi tak bertujuan. Melalui komunikasi, sikap dan perasaan seseorang atau sekelompok orang dapat dipahami oleh pihak lain. Akan tetapi, komunikasi hanya akan efektif apabila pesan yang disampaikan dapat ditafsirkan sama oleh penerima pesan tersebut.
Komunikasi merupakan proses linear karena tertarik pada teknologi radio dan telepon dan ingin mengembangkan suatu model yang dapat menjelaskan bagaimana informasi melewati berbagai saluran (channel). Hasilnya adalah konseptualisasi dari komunikasi linear (linear communication model). Pendekatan ini terdiri atas beberapa elemen kunci: sumber (source), pesan (message) dan penerima (receiver).  Model linear berasumsi bahwa seseorang hanyalah pengirim atau penerima. Tentu saja hal ini merupakan pandangan yang sangat sempit terhadap partisipan-partisipan dalam proses komunikasi.
Wilbur Schramm pada tahun 1954 (dalam Mulyana 2007), menekankan pada proses komunikasi dua arah diantara para komunikator, yaitu dari pengirim dan kepada penerima dan dari penerima kepada pengirim. Proses melingkar ini menunjukkan bahwa komunikasi selalu berlangsung. Para peserta komunikasi menurut model interaksional adalah orang-orang yang mengembangkan potensi manusiawinya melalui interaksi sosial, tepatnya melalui pengambilan peran orang lain. Patut dicatat bahwa model ini menempatkan sumber dan penerima mempunyai kedudukan yang sederajat. Satu elemen yang penting bagi model interkasional adalah umpan balik (feedback), atau tanggapan terhadap suatu pesan.
Barnlund pada tahun 1970 (West, Richard & Lynn H. Turner. 2007). Menggarisbawahi pengiriman dan penerimaan pesan yang berlangsung secara terus-menerus dalam sebuah episode komunikasi. Komunikasi bersifat transaksional adalah proses kooperatif: pengirim dan penerima sama-sama bertanggung jawab terhadap dampak dan efektivitas komunikasi yang terjadi. Model transaksional berasumsi bahwa saat terus-menerus mengirimkan dan menerima pesan, berurusan baik dengan elemen verbal dan nonverbal, sehingga komunikator melakukan proses negosiasi makna.
Sedangkan sosial berarti masyarakat atau teman, sosial di sini yang dimaksudkan adalah segala sesuatu yang dipakai sebagai acuan dalam berinteraksi antar manusia dalam konteks masyarakat atau komuniti. Sebagai acuan berarti sosial bersifat abstrak yang berisi simbol-simbol berkaitan dengan pemahaman terhadap lingkungan. Hal tersebut berfungsi untuk mengatur tindakan-tindakan yang dimunculkan oleh individu-individu sebagai anggota suatu masyarakat. Sehingga dengan demikian, sosial haruslah mencakup lebih dari seorang individu yang terikat pada satu kesatuan interaksi, karena lebih dari seorang individu berarti terdapat hak dan kewajiban dari masing-masing individu yang saling berfungsi satu dengan lainnya. Dalam hal ini masing-masing individu di SLB/C Darma Rena Ring Putra 2, Yogyakarta diatur oleh peraturan sekolah yang mengikat bagi mereka.
Berdasarkan uraian diatas komunikasi sosial adalah Kegiatan komunikasi yang diarahkan pada pencapaian suatu situasi integrasi sosial. Komunikasi sosial juga merupakan suatu proses pengaruh-mempengaruhi mencapai keterkaitan sosial yang dicita-citakan antar individu yang ada di masyarakat. Komunikasi sosial setidaknya mengisyaratkan bahwa komunikasi itu penting untuk membangun konsep diri kita, aktualisasi diri, kelangsungan hidup, memperoleh kebahagian, terhindar dari tekanan dan ketegangan (lewat komunikasi yang bersifat menghibur) dan mempunyai hubungan dengan orang lain.
2.    Fungsi komunikasi sosial
Fungsi komunikasi sosial dapat terbentuk dengan adanya pembentukan dari dalam yaitu eksistensi diri (Puspasari, 2007).


a.    Pembentukan konsep diri
Pembentukan konsep diri adalah pandangan kita mengenai siapa diri kita dan itu hanya bisa kita peroleh lewat informasi yang diberikan orang lain kepada kita. Aspek-aspek konsep diri diantaranya : jenis kelamin, agama, kesukuan, pendidikan, pengalaman, rupa fisik dan lain-lain. Identitas etnik merupakan konsep penting atau unsur-unsur penting konsep diri.
b.    Pernyataan eksistensi diri
Orang berkomunikasi untuk menunjukkan dirinya eksis. Inilah yang disebut aktualisasi diri atau pernyataan eksistensi diri. Ketika berbicara, kita sebenarnya menyatakan bahwa kita ada. Komunikasi sosial itu sendiri bertujuan untuk integrasi bangsa dan sosial. Integrasi adalah menciptakan rasa aman yang diperoleh dari ikatan sosial yang kuat dengan mengorbankan sedikit atau banyak kepentingan individu.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan komunikasi sosial adalah kegiatan komunikasi yang diarahkan pada pencapaian suatu situasi integrasi sosial. Komunikasi sosial juga merupakan suatu proses pengaruh-mempengaruhi mencapai keterkaitan sosial yang dicita-citakan antar individu yang ada di masyarakat. Komunikasi sosial setidaknya mengisyaratkan bahwa komunikasi itu penting untuk membangun konsep diri, aktualisasi diri, kelangsungan hidup, memperoleh kebahagian, terhindar dari tekanan dan ketegangan (lewat komunikasi yang bersifat menghibur) dan mempunyai hubungan dengan orang lain.
3.    Tahapan Komunikasi Anak Autis
Menurut Ginanjar (2008), tahapan komunikasi anak autis antara lain meliputi:
a.    The Own Agenda Stage
1)    Asik dengan dirinya sendiri
2)    Belum tahu bahwa komunikasi dapat mempengaruhi orang lain
3)    Mengambil sendiri makanan/benda-benda
4)    Interaksi hanya dengan orangtua/pengasuh
5)    Belum dapat bermain dengan benar
6)    Menangis/berteriak bila terganggu
b.    The Requester Stage
1)    Sadar bahwa tingkahlakunya bisa mempengaruhi orang lain
2)    Menarik tangan bila ingin sesuatu
3)    Menyukai interaksi dalam bentuk kegiatan fisik (bergulat, dikelitiki, main cilukba)
4)    Mengulangi kata/suara untuk diri sendiri
5)    Dapat mengikuti perintah sederhana walaupun belum konsisten
6)    Memahami rutinitas sehari-hari
c.    The Early Communication Stage
1)    Sudah bisa berkomunikasi dengan gesture, suara, gambar
2)    Tahu cara menggunakan bentuk komunikasi tertentu secara konsisten
3)    Komunikasi terbatas untuk pemenuhan kebutuhan (makan, minum, benda kesukaan).
4)    Memahami kalimat sederhana
5)    Dapat belajar menjawab pertanyaan "Apa ini/itu?", mengenal konsep "Ya/Tidak"
d.    The Partner Stage
1)    Mulai melakukan percakapan sederhana
2)    Menceritakan pengalaman masa lalu dan keinginan yang belum terpenuhi
3)    Masih terpaku pada kalimat yang dihafalkan
4)    Bagi anak non-verbal, mampu menyusun kalimat dengan gambar atau tulisan
5)    Masih mengalami kesulitan dalam interaksi sosial
Berdasarkan uraian di atas, dalam berkomunikasi, anak autis melalui beberapa tahapan yaitu tahap the own agenda stage, the requester stage, the early communication stage dan the partner stage. Anak autis tidak dapat langsung berkomunikasi dengan orang lain layaknya anak normal. Akan tetapi melalui tahapan-tahapan untuk sampai pada level komunikasi normal dengan orang lain.




4.    Jenis-jenis Komunikasi Sosial
Menurut cara penyampaian informasi, komunikasi sosial dapat dibedakan menjadi (Sutedja, 2006):
a.    Komunikasi Lisan
Komunikasi lisan adalah komunikasi yang terjadi secara langsung dan tidak dibatasi oleh jarak, di mana dua belah pihak dapat bertatap muka, Misalnya dialog dua orang, wawancara, maupun rapat dan sebagainya. Komunikasi tersebut terjadi secara tidak langsung karena dibatasi oleh jarak, misalnya komunikasi lewat telepon dan sebagainya.
b.    Komunikasi Tertulis
Komunikasi tertulis adalah komunikasi yang dilaksanakan dalam bentuk surat dan dipergunakan untuk menyampaikan berita yang sifatnya singkat, jelas tetapi dipandang perlu untuk ditulis dengan maksud-maksud tertentu. Contoh-contoh komunikasi tertulis antara lain:
1)    Naskah yang biasanya dipergunakan untuk menyampaikan berita yang bersifat komplek.
2)    Blangko-blangko, yang dipergunakan untuk mengirimkan berita dalam suatu daftar.
3)    Gambar iklan foto, karena tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata atau kalimat.
4)    Spanduk, yang biasa dipergunakan untuk menyampaikan informasi kepada banyak orang.
Komunikasi secara tertulis, sebaiknya dipertimbangkan maksud dan tujuan komunikasi itu dilaksanakan. Disamping itu perlu juga resiko dari komunikasi tetulis tersebut, misalnya aman, mudah dimengerti dan menimbulkan pengertian yang berbeda dari yang dimaksud.
Komunikasi merupakan suatu konsep yang multi makna, oleh karena itu untuk memahami pengertian komunikasi, kita harus mengetahui macam-macam komunikasi. Komunikasi dapat dibedakan menjadi sepuluh macam, antara lain (http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/komunikasi_bisnis/bab2-macam_macam_komunikasi.pdf):
a.    Komunikasi menurut cara penyampaian
b.    komunikasi menurut kelangsungannya
c.    komunikasi menurut perilaku
d.    komunikasi menurut maksud komunikasi
e.    komunikasi menurut ruang lingkup
f.    komunikasi menurut aliran informasi
g.    komunikasi menurut jaringan kerja
h.    komunikasi menurut peranan individu
i.    komunikasi menurut jumlah yang berkomunikasi
j.    komunikasi menurut fungsi komunikasi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jenis komunikasi dibagi ke dalam dua bagian yaitu komunikasi verbal yang disampailan secara langsung berhadap-hadapan antara komunikator dengan komunikan dan komunikasi tertulis atau bermedia yang dilakukan dengan melalui media tulis.
5.    Proses Komunikasi
Menurut Edward Depari (Onong, 2000) komunikasi adalah proses penyampaikan gagasan harapan dan pesan melalui lambang tertentu, mengandung arti dilakukan oleh penyampai pesan ditujukan kepada penerima pesan. Secara terminologis komunikasi berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Pengertian ini jelas bahwa komunikasi melibatkan sejumlah orang, dimana seseorang menyatakan sesuatu kepada orang lain.
Hovland (dalam Richad West, 2008) berpendapat bahwa komunikasi sebagai suatu situasi interaksi, dimana individu (komunikator) mengirim stimulus (perangsang) berupa simbol verbal untuk mengubah perilaku individu-individu lain dalam situasi tatap muka.
Menurut Lasswell (dalam Effendy, 1994) proses  komunikasi dibedakan ke dalam dua tahap, yaitu:
a.    Proses komunikasi secara primer
Proses komunikasi secara primer yaitu proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (symbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah pesan verbal (bahasa), dan pesan nonverbal (kial/gesture, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya). Komunikasi berlangsung apabila terjadi kesamaan makna dalam pesan yang diterima oleh komunikan. Komunikasi adalah proses membuat pesan yang setara bagi komunikator dan komunikan. Komunikator memformulasikan pikiran dan atau perasaannya ke dalam lambang (bahasa) yang diperkirakan akan dimengerti oleh komunikan. Kemudian giliran komunikan untuk menterjemahkan (decode) pesan dari komunikator. Ini berarti ia menafsirkan lambang yang mengandung pikiran dan atau perasaan komunikator tadi dalam konteks pengertian.
b.    Proses komunikasi secara sekunder
Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua dalam menyampikan komunikasi, karena komunikan sebagai sasaran berada di tempat yang relatif jauh atau jumlahnya banyak. Surat, telepon, teleks, surat kabar, majalah, radio, televisi, film, dsb adalah media kedua yang sering digunakan dalam komunikasi. Proses komunikasi secara sekunder itu menggunakan media yang dapat diklasifikasikan sebagai media massa seperti surat kabar, televisi, radio, dan sebagainya.
Dalam proses komunikasi, ada enam bagian penting yang berperan, yaitu: sumber komunikasi, pengkodean, pesan, saluran, pengkodean, penerima, dan umpan balik.
Gambar 2.1 Model Proses Komunikasi
                                                            
       
           
Umpan balik/feedback
Sumber: Robbins (1996)
Keterangan dari gambar tersebut sebagai berikut:
a.    Sumber:
Sumber mengawali suatu pesan dengan pengkodean suatu pikiran.
b.    Pengkodean:
Empat kondisi yang mempengaruhi pesan terkode: keterampilan, sikap, pengetahuan, dan sistem sosial-budaya. Komunikator harus mengetahui siapa yang ingin dicapai serta tanggapan apa yang diinginkan. Individu mempertahankan gagasan-gagasan mengenai sejumlah besar topik, dan komunikasi dipengaruhi oleh sikap tersebut. Selanjutnya, kegiatan komunikasi individu dirintangi oleh sejauh mana pengetahuan individu tersebut mengenai topik itu. Komunikator dapat mengkomunikasikan apa yang tidak ia ketahui, dan seandainya pengetahuannya terlalu meluas, mungkin penerima atau komunikan tidak akan memahami pesan tersebut.
c.    Pesan:
Pesan merupakan suatu produk fisik yang sebenarnya dari pengkodean sumber. Apabila kita bicara, pembicaraan itulah pesan, bila menulis, tulisan itulah pesan, bila kita melakukan gerakan isyarat (gesture), gerakan lengan, ungkapan pada wajah kita, itulah pesannya. Pesan dipengaruhi oleh kode atau kelompok simbol yang digunakan untuk mentransfer makna, isi dari pesan itu sendiri, dan keputusan yang kita ambil dalam memilih dan menata baik kode maupun isi.
d.    Saluran:
Saluran adalah medium pesan tersebut berjalan. Medium dipilih oleh sumber, baik saluran secara formal maupun non formal. Saluran formal ditetapkan oleh organisasi, saluran tersebut yang meneruskan pesan mengenai kegiatan anggota yang bertalian dengan pekerjaan. Bentuk pesan lain, seperti pesan sosial atau pribadi mengikuti saluran informal dalam organisasi tersebut.
e.    Penerima:
Penerima merupakan sasaran dari pesan yang disampaikan. Sebelum pesan dapat diterima, simbol-simbol harus diterjemahkan ke dalam suatu ragam yang dapat dipahami oleh komunikan. Hal tersebut disebut dengan pengkodean pesan. Pengetahuan, sikap, dan latar belakang budaya seseorang tidak hanya mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menerima melainkan juga mempengaruhi kemampuan seseorang untuk mengirim.
f.    Umpan balik/feedback:
Umpan balik merupakan pengecekan berapa suksesnya dalam mentransferkan pesan sesuai dengan apa yang diinginkan pengirim pesan.
Berdasarkan pembahasan di atas, komunikasi merupakan aktifitas pengiriman pesan dari komunikator kepada komunikan dengan menggunakan lambang atau simbol. Proses komunikasi dilakukan dalam dua macam, yaitu komunikasi primer dan komunikasi sekunder.
a.    Komunikasi Secara Primer
Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (symbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah pesan verbal (bahasa), dan pesan nonverbal (kial/gesture, isyarat, gambar, warna,dan lain sebagainya) yang secara langsung dapat/mampu menerjemahkan pikiran dan atau perasaan komunikator kepada komunikan (Effendy, 2006:11). Komunikasi berlangsung apabila terjadi kesamaan makna dalam pesan yang diterima oleh komunikan. Dengan kata lain, komunikasi adalah proses membuat pesan yang setara bagi komunikator dan komunikan. Proses komunikasi berlangsung dengan didahului oleh penyampaian sandi (encode) pesan kepada komunikan. Kemudian komunikan menterjemahkan (decode) pesan dari komunikator.
a.    Proses komunikasi sekunder
Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Seorang komunikator menggunakan media ke dua dalam menyampaikan komunikasi karena komunikan sebagai sasaran berada di tempat yang relatif jauh atau jumlahnya banyak. Surat, telepon, teleks, surat kabar, majalah, radio, televisi, film, dsb adalah media kedua yang sering digunakan dalam komunikasi.Proses komunikasi secara sekunder itu menggunakan media yang dapat diklasifikasikan sebagai media massa (surat kabar, televisi, radio, dsb.) dan media nirmassa (telepon, surat, dsb.) (Effendy, 2006:16).

6.    Aspek-Aspek Komunikasi Sosial
Aspek-aspek dalam komunikasi sosial antar lain meliputi (Mulyana, 2007):
a.    Komunikator yaitu anak autis.
b.    Komunikan atau lawan bicara dari anak autis.
c.    Media atau saluran (channel) yang digunakan untuk menyampaikan pesan sebagai sarana berkomunikasi yakni bahasa-bahasa verbal maupun non verbal, wujudnya berupa ucapan, tulisan, gambar, bahasa tubuh, bahasa mesin, sandi dan lain sebagainya.
d.    Pesan atau isi komunikasi berupa pesan (message) yang disampaikan oleh Komunikator kepada Komunikan.
e.    Tanggapan dari lawan bicara. Merupakan dampak (effect) komunikasi sebagai respon atas penerimaan pesan yang berbentuk umpan balik (feed back) atau tindakan sesuai dengan pesan yang diterima.
f.    Integrasi sosial, yaitu komunikasi dilakukan untuk tujuan terjadinya integrasi sosial anak autis dengan lingkungannya.
Menurut Priatna (2010) karakteristik autis dalam berkomunikasi menunjukkan hal-hal berikut:
a.    Bermasalah dalam berinteraksi, bermain dan berhubungan dengan orang lain
b.    Perilaku menghindar dari kontak mata serta tidak pernah peduli dengan orang-orang di sekelilingnya
c.    Tidak pernah benar-benar memperhatikan suatu objek pada saat ia memerlukan objek tersebut
d.    Suka melakukan gerakan-gerakan aneh
e.    Terjadi kelambatan pada pertumbuhan dan perkembangannya, atau pun hilangnya keahlian yang sudah dikuasainya
f.    Lebih suka bermain dengan mainan yang monoton atau selalu mengulang kegiatan yang sama setiap hari
g.    Tidak mampu menggunakan atau memahami bahasa
h.    Tampak acuh tak acuh dengan sesuatu di sekelilingnya.
Menurut PPGDJ-III dijelaskan bahwa kemampuan komunikasi sosial anak autis adalah sebagai berikut:
a.    Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang ditunjukkan antara lain:
1)    memiliki kesulitan dalam menggunakan prilaku non verbal,
2)    memilki kesulitan dalam mengembangkan hubungan dengan teman sebaya.
3)    ketidakmampuan untuk berbagi kesenangan, minat dan keberhasihan secara spontan
4)    ketidakmampuan membina hubungan sosial atau emosi yang timbal balik
b.    Gangguan kualitatif dalam berkomunikasi yang ditunjukkan oleh salah satu dari empat hal berikut:
1)    keterlambatan dalam perkembangan bicara atau sama sekali tidak.
2)    kurang mampu untuk memulai pembicaraan dengan yang lain.
3)    pemakain bahasa yang berulang-ulang atau bahasa yang aneh (idiosyncantric)
4)    cara bermain yang kurang bervariatif.
c.    Pola minat perilaku yang terbatas yang ditunjukkan oleh salah satu dari tiga hal berikut:
1)    keasikan dengan satu atau lebih pola-pola minat yang terbatas
2)    tampak tidak feleksibel atau kaku dengan rutinitas atau ritual  yang khusus.
3)    perilaku motorik yang streotif seperti memukul-mukulkan atau mengerak-gerakkan tangannya.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek yang terdapat dalam komunikasi sosial adalah: adanya 1. komunikator (pelaku), 2. komunikan (lawan bicara), media, isi pesan, tanggapan dan terjadinya integrasi sosial. Gangguan komunikasi sosial pada anak utis dapat dilihat dari: memiliki kesulitan  dalam menggunakan prilaku non verbal, memilki kesulitan dalam mengembangkan hubungan dengan teman sebaya, ketidakmampuan untuk berbagi kesenangan, minat dan keberhasihan secara spontan, dan ketidakmampuan membina hubungan sosial atau emosi yang timbal balik.

7.    Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komunikasi Sosial Anak Autis
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan komunikasi ada dua faktor yang mempengaruhi komunikasi menurut Frans M. Royan (2004), yaitu:
a.    Faktor komunikator (Sender)
Faktor sender meliputi keterampilan, sikap, pengetahuan dan media saluran yang digunakan. Sebagai pengirim informasi, ide, berita, pesan, komunikator perlu menguasai cara-cara penyampaian, baik secara tertulis maupun lisan. Sikap komunikator sangat berpengaruh terhadap komunikan. Keangkuhan dalam komunikasi dapat mengakibatkan informasi yang diberikan akan ditolak oleh komunikan. Demikian pula apabila komunikator menampakkan keragu-raguan dapat menyebabkan ketidakpercayaan terhadap informasi pesan yang disampaikan.
a.    Faktor komunikan (Receiver)
Faktor komunikan meliputi ketermpilan, sikap, pengetahuan dan media saluran yang digunakan. Keterampilan komunikan dalam mendengar dan membaca pesan sangat penting. Pesan yang diberikan akan dapat dengan mudah dimengerti dengan baik jika komunikan mempunyai keterampilan mendengar dan membaca. Sikap komunikan yang berpengaruh terhadap efektivitas komunikasi misalkan sikap apriori, meremehkan, dan berprasangka buruk terhadap komunikator.
Anak autis berbeda dengan anak lainnya. Anak autis memiliki gangguan perkembangan pada interaksi sosial dan komunikasi yang ditandai dengan terbatasnya aktifitas dan ketertarikan individu terhadap sekelilingnya. Masalah komunikasi pada penderita autis berbeda-beda, tergantung pada intelektual dan pembangunan sosial individu. Menurut Simpson kemampuan anak autis dalam mengembangkan interaksi sosial dengan orang lain sangat terbatas, bahkan mereka bisa sama sekali tidak merespon stimulus dari orang lain. Autis merupakan kondisi anak yang mengalami gangguan hubungan sosial yang terjadi sejak lahir atau pada masa perkembangan, sehingga anak tersebut terisolasi dari kehidupan manusia (Sugiarto, dkk,  2004).

Menurut Yuniar (2000), ketidakmampuan berinteraksi sosial merupakan salah satu dari trias autis. Trias autis adalah gangguan kulitatif dalam interaksi sosial, tidak bisa berbagi kesenangan dengan teman dan kurang dapat berhubungan sosial dan emosional timbal balik. Gangguan interaksi antara lain : kontak mata sangat kurang, tidak bisa bermain dengan teman sebaya, tidak bisa berempati, kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional timbal balik.
Perilaku yang ditujukan para penyandang autisme umumnya seringkali menjadi masalah besar bagi para orang tua dan caregiver (pengasuh, pendidik,dll). Perilaku itu dapat meliputi perilaku yang tidak wajar, berulang-ulang, perilaku agresif atau bahkan membahayakan serta perilaku-perilaku lainnya yang sering terlihat pada mereka seperti flapping, rocking, dll. Kemampuan berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan juga menjadi persoalan utama bagi para penyandang autis. Hambatan berbahasa dan berbicara memiliki andil yang besar pada timbulnya berbagai masalah dalam perilaku. Ketidakmampuan menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan kebutuhannya, dapat membuat seorang anak autis berteriak-teriak (Raymond, 2004).
Faktor yang mempengaruhi kemampuan komunikasi sosial pada anak autis menurut Siegell (2010) dalam http://psikologi.tarumanagara.ac.id/s2/wp-content/uploads/2010/09/33-efek-penerapan-compic-terhadap-kemampuan-komunikasi-anak-autis-non-verbal-veva-lenawaty-m-psi-dan-dr-endang-widyorini-psi.pdf yaitu antara lain:


a.     Berpikir visual (visual thinking)
Anak autis lebih mudah memahami hal konkrit (dapat dilihat dan dipegang) daripada hal abstrak. Biasanya ingatan atas berbagai konsep tersimpan dalam bentuk video atau file gambar. Proses berpikir yang menggunakan gambar/film seperti ini jelas lebih lambat daripada proses berpikir secara verbal, akibatnya anak autis perlu jeda beberapa saat sebelum bisa berespons. Individu dengan gaya berfikir seperti ini, juga lebih mengandalkan asosiasi daripada berpikir secara logis menggunakan logika.
b.     Kesulitan memproses informasi (processing problems)
Anak autis mengalami kesulitan memperoleh informasi. Cenderung terbatas dalam memahami atau menggunakan akal sehat/nalar. Sulit merangkai informasi verbal yang panjang (rangkaian instruksi), sulit dimintai sesuatu sambil mengerjakan hal lain, dan sulit memahami bahasa verbal/lisan.
c.     Kesulitan berkomunikasi (communication frustration)
Gangguan perkembangan bicara bahasa yang terjadi pada anak autis membuat anak autis sering frustasi karena masalah komunikasi. Bisa mengerti orang lain tapi terutama bila orang lain bicara langsung kepada anak autis. Itu sebabnya anak autis seolah tidak mendengar bila orang lain bercakap-cakap diantara sesamanya. Merasa percakapan itu tidak ditunjukkan kepada anak autis, karena itu anak autis sulit memahami tuntutan lingkungan yang meminta anak autis menjawab meski anak autis tidak ditanya secara langsung. Anak autis juga sulit mengungkapkan diri, sehingga lalu bertindak atau berperilaku negatif lain selain sekedar untuk mendapat apa yang anak autis inginkan. Tidak mampu mengungkapkan diri secara efektif, kadang harus berada dalam kondisi tertekan untuk dapat ekspresi, sehingga seringkali frustasi bila tidak dimengerti.
d.     Masalah emosi dan sosial (social & emotional issues)
Ciri lain yang dominan adalah keterpakuan akan sesuatu membuat anak autis cenderung berpikir kaku. Akibatnya anak autis sulit beradaptasi atau memahami perubahan yang terjadi di lingkungan sehari-hari. Apalagi bila perubahan tersebut terjadi dengan cepat dan tanpa penjelasaan sama sekali. Keterpakuan akan sesuatu membuat anak autis sulit memahami berbagai situasi sosial, seperti tata cara pergaulan dan aturan sosialisasi yang sangat bervariasi tergantung kondisi dan situasi sesaat. Pada umumnya anak autis tidak dapat membayangkan bahwa orang lain juga bisa mempersepsi sesuatu dari sudut pandang yang berbeda, karena hal ini adalah sesuatu yang sangat abstrak. Itu sebabnya, banyak yang sulit berempati bila tidak dilatih melalui pengalaman dan pengarahan.
e.     Kesulitan dalam mengontrol diri (problems of control)
Berbagai gangguan perkembangan neurology di otak menjadikan masalah anak autis menjadi semakin kompleks. Anak autis mengalami kesulitan mengontrol diri sendiri, yang terwujud dalam berbagai bentuk masalah perilaku. Anak autis cenderung berperilaku ritual dengan pola tertentu. Sebagian dari mereka juga memiliki ketakutan yang luar biasa pada hal-hal yang tidak ia mengerti. Karena itu ada anak yang amat marah hingga berperilaku tantrum bila rutinitasnya diubah, juga ada yang sulit sekali bila diminta (cenderung menolak terlebih dahulu) untuk melakukan kegiatan baru.
f.    Kesulitan dalam menalar (problems of connection)
Berbagai masalah yang berkaitan dengan kemampuan individu menalat antara lain : masalah pemusatan perhatian (attention problems), terus menerus terdistraksi.
g.    System integration problems
Proses informasi di otak bekerja secara “mono” (tunggal) sehingga sulit memproses beberapa hal sekaligus. Setiap individu mempunyai caranya sendiri dalam mencerna informasi secara efektif. Umumnya belajar melalui indra penglihatan, perabaan, dan atau pendengaran.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi anak autis dalam melakukan komunikasi yaitu:
a.    Berpikir visual (visual thinking) yaitu lebih mudah memahami hal kongkrit.
b.    Kesulitan memproses informasi (processing problems) yaitu Anak autis mengalami kesulitan memperoleh informasi.
c.    Kesulitan berkomunikasi (communication frustration) yaitu perkembangan bicara bahasa.
d.    Masalah emosi dan sosial (social & emotional issues) yaitu karena adanya keterpakuan akan sesuatu membuat anak autis cenderung berpikir kaku.
e.    Kesulitan dalam mengontrol diri (problems of control) yaitu karena adanya gangguan perkembangan neurology di otak.
f.    Kesulitan dalam menalar (problems of connection) yaitu masalah yang berkaitan dengan kemampuan individu menalar antara lain : Masalah pemusatan perhatian, terus menerus terdistraksi.
g.    System integration problems yaitu proses informasi di otak bekerja secara “mono” (tunggal) sehingga sulit memproses beberapa hal sekaligus.
















BAB III

Metode Penelitian

A.    Identifikasi Variabel Penelitian

Menurut Arikunto (1998) variabel penelitian adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian. Hadi (1982) menyebutkan bahwa variabel adalah semua keadaan, faktor, kondisi, perlakuan, atau tindakan yang dapat mempengaruhi hasil eksperimen. Penulis menggunakan dua variabel dalam penelitian ini yaitu satu variabel bebas yakni komunikasi sosial dan satu variabel terikat yaitu anak autis.

B.    Definisi Operasional Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini terdiri atas dua macam yaitu komunikasi sosial dan anak autis.
1.    Komunikasi sosial adalah proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain yang diarahkan untuk pencapaian suatu situasi integrasi sosial. Berdasarkan pengertian tersebut, kemampuan komunikasi sosial anak autis adalah: a. memiliki kesulitan  dalam menggunakan prilaku non verbal, b. memilki kesulitan  dalam mengembangkan hubungan dengan teman sebaya, c. ketidakmampuan untuk berbagi kesenangan, d. minat dan keberhasihan secara spontan, dan ketidakmampuan membina hubungan sosial atau emosi yang timbal balik.
2.    Anak autis adalah anak yang memililiki cara berfikir atau perilaku anak yang berbentuk berdasarkan daya fikir dan khayalannya sendiri, kurang mampu berkomunikasi baik secara verbal maupun non verbal, karena selalu menolak kontak fisik dan kurang mampu memahami bahasa yang diberikan kepadanya sebagai alat komunikasi, serta tidak memiliki keinginan untuk dapat melakukan kontak sosial.

C.    Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah terdiri atas: tiga (3) orang siswa penderita autis di SLB/C Darma Rena Ring Putra 2, Yogyakarta yang berusia 7-12 tahun; dan 2 orang guru kelas/mengajar.

D.    Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan dua cara yaitu interview, dan observasi.
1.    Interview atau wawancara
Wawancara dilaksanakan melalui tanya-jawab dengan subjek penelitian. Menurut Moleong (2006), teknik wawancara digunakan untuk mengumpulkan data yang diperlukan penulis terkait dengan komunikasi sosial anak autis. Hal-hal yang diamati yaitu pertama, aspek komunikasi sosial yang terdiri atas tidak dapat berbicara; kesulitan dalam menggunakan bahasa; dan kesiulitan dalam memaknai kata dan kalimat, intonasi, dan irama. Kedua, kemampuan komunikasi antar pribadi dan pencapaian integrasi sosial dalam kegiatan komunikasi anak autis. Pedoman wawancara adalah komunikasi antar pribadi dan pencapaian integrasi sosial. Wawancara dilakukan dengan sistem wawancara semi struktur. Wawancara ini dimulai dari isu yang dicakup dalam pedoman wawancara. Pedoman wawancara tidak mengikat seperti dalam penelitian kuantitatif. Sekuensi pertanyaan tidaklah sama pada tiap partisipan bergantung pada proses wawancara dan jawaban tiap individu. Namun  pedoman wawancara menjamin bahwa peneliti mengumpulkan jenis data yang sama dari para partisipan. Sedangkan pedoman observasi penulis menggunakan chek list.
2.    Penulis juga menggunakan field research atau studi lapangan untuk memperoleh data
Penggunaan field research dilakukan dengan mengadakan pengamatan dan pencatatan langsung pada objek penelitian (Moleong, 2006). Observasi yang dilakukan adalah observasi partisipatif yaitu dengan melibatkan secara langsung dengan siswa autis.





E.    Metode Analisa Data
Penelitian ini adalah memiliki ciri penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain (Rahmat, 2006).
Analisis data kualitatif adalah suatu proses yang meliputi (Moleong, 2006):
1.    Mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dengan hal itu diberi kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri
2.    Mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, mensintesiskan, membuat ikhtisar dan membuat indeksnya,
3.    Berpikir dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai makna, mencari dan menemukan pola, hubungan-hubungan dan temuan-temuan umum.
F.    Validitas Data
Validitas data pada penelitian kualitatif dapat dilihat pada beberapa macam. Menurut Sugiyono (2007) ada dua macam validitas data yaitu  validitas internal dan validitas eksternal. Validitas internal yaitu berkenan dengan derajat akurasi desain penelitian dengan hasil yang dicapai. Sementara validitas eksternal berkenan dengan derajat akurasi apakah hasil penelitian dapat digeneralisasikan atau diterapkan pada populasi dimana sampel tersebut diambil.
Penelitian kualitatif digunakan untuk keperluan menganalisis data-data yang diperoleh dalam melakukan penelitian dengan menggunakan teori triangulasi data yaitu untuk menguji keabsahan data yang diperoleh dari lapangan. Hal ini untuk menemukan apakah sesuai dengan pelaksanaannya. Dengan demikian, data dikatakan valid apabila data tersebut reliabel dan objektif (Sugiyono, 2003). penelitian ini merupakan penelitian untuk menemukan suatu kesesuaian antara teori dan praktek. Di mana peneliti terlebih dahulu memilih teori yang dianggap sesuai dengan pokok masalah yang diteliti. penelitian ini dianggap valid apabila ada kesesuaian antara teori yang digunakan dengan pemecahan masalah yang akan dijawab.
Penelitian yang berupa jawaban atau pemecahan masalah penelitian, dimuat berdasarkan hasil proses pengujian data yang meliputi: pemilihan, pengumpulan dan analisis data. Oleh karena itu, tergantung pada kualitas data yang dianalisis dan instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian. Ada dua konsep untuk mengukur kualitas data, yaitu: reliabilitas dan validitas. Artinya suatu penelitian akan menghasilkan kesimpulan yang bias jika datanya kurang reliabel dan kurang valid. Sedang, kualitas data penelitian ditentukan oleh kualitas instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data.




BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHSAN

A.    Orientasi Kancah dan Persiapan
1.    Orientasi Kancah
SLB/C Dharma Rena Ring Putra II beralamat di Jl. Kusumanegara 105 B Yogyakarta dengan NSS 834046014002. Sekolah ini didirikan pada tanggal 15 Juli 1984 dengan akta notaris No. 5 tertanggal 5 November 1963 dengan nama notaris Saputro Partaningrat. Ijin operasional adalah Surat Keputusan No. 01282/H/1986 tgl 28 November 1986. Kepala sekolah saat ini adalah R. Susanto, S.pd.
Jenis pelayanan yang diberikan oleh SLB/C Dharma Rena Ring Putra II yaitu autis, tuna grahita ringan, tuna grahita sedang dan tuna rungu wicara. Yayasan SLB/C Dharma Rena Ring Putra II berdiri di atas tanah seluas 2.469 meter persegi dengan luas bangunan 1.154 meter persegi.
Visi dari SLB/C adalah “Terwujudnya layanan pendidikan dan layanan yang efektif bagi anak berkebutuhan khusus untuk hidup mandiri sesuai dengan kemampuannya dilandasi iman dan taqwa”. Sedangkan misinya adalah:
a.    Menyelenggarakan pembelajaran dengan pendekatan Pakem Gembrot dan CTL secara efektif dan berkesinambungan sehingga ada anak berkembang secara optimal.
b.    Menerapkan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah
c.    Meningkatkan mutu tenaga pendidik dan kependidikan
d.    Pengadaan sarana dan prasarana sekolah yang memenuhi standar minimal
e.    Menyelenggarakan tempat kerja/unit usaha produktif yang berbentuk sanggar mandiri
f.    Menjalin hubungan kerjasama dengan instansi pemerintah, masyarakat, dunia usaha dan insdustri
g.    Menumbuhkembangkan pengalaman beragama dan berbudi pekerti luhur bagi siswa warga sekolah
h.    Meningkatkan citra martabat anak berkebutuhan khusus sehingga mendapat perlakuan yang diskriminatif dari manapun
Data siswa SLB/C Dharma Rena Ring Putra TA 2011/2012
No.    Kategori Siswa    TKLB    SDLB    SMPLB    SMALB    Jumlah
1    Autis    -    3    -    -    3
2    Tuna Rungu Wiara    -    -    1    -    1
3    Tuna Grahita Ringan    4    20    8    7    39
4    Tuna Grahita Sedang    2    4    1    -    7









Tenaga pendidik yang ada di SLB/C Dharma Rena Ring Putra II berjumlah 19 orang dengan 12 orang berstatus PNS dan 7 orang berasal dari yayasan. Dari sembilan belas orang tenaga pendidik tersebut, paker C/SMA berjumlah 3 orang, DII dan DIII berjumlah 6 orang dan S1 berjumlah 10 orang. Sementara tenaga kependidikan yang ada di SLB/C Dharma Rena Ring Putra II berjumlah enam orang, satu PNS dan lima orang dari yayasan. SLB 2 orang, SD, 1 orang dan SMA 3 orang.
Sarana dan prasarana yang ada di SLB/C Dharma Rena Ring Putra II yaitu terdiri dari:
a.    Fasilitas keterampilan
Fasilitas keterampilan terdiri atas mesin obras kaos; Mesin pertukangan kayu (Mesin ketam); Mesin bor; Mesin gergaji; Mesin bubut kayu; Alat membatik; Alat menenun; Alat pencucian motor; Alat tata boga; Alat pertanian; Alat menganyam; dan Alat kerajinan tangan.
b.    Fasilitas olahraga
Fasilitas olahraga yaitu lapangan badminton; lapangan loncat jauh; meja tenis meja; area bermain; alat-alat olahraga; treat mil papan tulis; papan panjat; bola panjat; bola bocce; bola volley plastik; tolak peluru; dan Shof ball
c.    Fasilitas kesehatan
Fasilitas kesehatan terdiri atas ruang UKS, alat-alat kesehatan; pengukur tinggi badan; pengukur berat badan; pengukur suhu badan; dan obat ringan. Keempat, fasilitas kesenian yang terdiri atas ruang tari; ruang tata rias; ruang musik; organ; dan angklung.
d.    Fasilitas kantor
Fasilitas kantor terdiri atas komputer; internet; laptop; dan telepon. Fasilitas lain yang terdiri atas laboratorium IPA; ruang perpustakaan; ruang ibadah; laboratorium bina diri; aula; ruang yayasan; ruang kepala sekolah; ruang tata usaha; dan gudang.

2.    Persiapan
Peneliti terlebih dahulu melakukan survei ke SLB Darma Rena Ring Putra 2 Yogyakarta dengan menemui pihak-pihak terkait, terutama guru yang menangani siswa autis. Setelah penulis bertemu dengan dua orang guru yang bertanggungjawab dalam pendidikan dan pelayanan anak autis, penulis mempersiapkan surat izin penelitian yang dibuat oleh kampus.
Selain surat izin, penulis juga mempersiapkan pedoman wawancara dan pedoman observasi guna memperoleh data. Pedoman wawancara digunakan untuk mewawancarai guru pengampu pendidikan khusus anak autis, sedangkan pedoman observasi dijadikan panduan untuk mengobservasi anak autis ketika pelajaran berlangsung di depan kelas dan ketika di luar kelas atau bermain.



B.    Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 10 November 2011 s/d 15 November 2011. Penulis mengobservasi anak autis di dalam kelas ketika berlangsung proses belajar mengajar, dan di luar kelas yaitu ketika mereka berinteraksi dengan teman-temannya. Wawancara dilaksanakan dengan dua orang guru yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan pendidikan dan pelayanan siswa autis.
1.    Keadaan subjek
a.    Siswa Autis
1)    MU
MU Lahir di Yogyakarta  pada tanggal 02 Maret 1999  atau sekarang telah berusia 13 tahun. Menurut orang tua MU, kondisi MU baru diketahui ada indikasi autistik ketika sudah menginjak usia 4 tahun. Setelah masuk ke SLB Dharma Rena Ring Putra 2 Yogyakarta MU memang “mengalami perkembangan, tapi agak terlambat, tetapi sekarang sudah membaik”.
Menurut Ibu MU alasan memilih sekolah di SLB Dharma Rena Ring Putra 2 Yogyakarta karena biaya yang dikenakan kepada siswa cukup terjangkau dibandingkan dengan SLB lainnya di Yogyakarta. Berikut petikan wawancara dengan Orang Tua MU, “karena di SLB sudah menerima murid autis dan biayanya ringan dibanding sekolah khusus autis”. Rincian biaya memang tidak disebutkan, namun menurut Ibu MU biayanya memang lebih terjangkau.
Perkembangan yang dimaksud oleh orang tua subjek 3 yaitu kemampuan berbicara dari MU. Setelah masuk, orang tuanya memang telah melihat adanya perkembangan kemampuan berkomunikasi yang cukup baik dalam diri MU. Hal tersebut dikarenakan terapi yang tepat yang diberikan oleh pihak sekolah dalam merangsang dan memacu agar anak cepat dapat berkomunikasi.
MU hanya mengandalkan pendidikan dan terapi yang diberikan oleh sekolah. Orang tua MU tidak memberikan terapi di luar sekolah.
2)    YK
YK lahir di Tangerang pada 21 Juli 2001 atau usia saat ini telah mencapai 10 tahun. Menurut orang tua subjek 2, YKDR baru didiagnosa autis ketika berusia sekitar usia 2 tahun, setelah diperiksakan ke dokter dan konsultasi dengan psikiater.
Menurut orang tuanya, YK memang mengalami beberapa gangguan seperti:
a)    perkembangan fisik anaknya tergolong bagus bagus atau sehat dan normal
b)    perkembangan akademis, sosialisasi, kemampuan dan perkembangan motorik halusnya yang terganggu. Komunikasi dua arah mengalami gangguan, tidak mau tatap muka.
c)    Sangat hiperaktif, tidak konsentrasi
d)    Takut gelap, tidak bisa mendengar berisik, misalnya selalu menutup telinga bila mendengar suara mesin pemotong rumput, hair dryer, mixer, blender dll.
e)    Tidurnya kacau, tiap tengah malam bangun dan menjelang subuh baru tidur lagi
f)    Susah untuk memotong rambutnya karena takut gunting, sisir dan suara kleeper (pencukur rambut)
Keadaan gangguan di atas menurut orang tua YK memang mulai berkurang, setelah dilakukan berbagai terapi alternatif (akupuntur, refleksi dll) sekarang sudah banyak kemajuan dan perkembangan dari YK. Menurutnya, YK telah menunjukkan perkembangan dalam hal:
a)    Sekarang YK sudah dapat potong rambut di salon
b)    Tidur nyenyak sampai pagi, tidak takut gelap
c)    Tatap mata sudah bagus
d)    Sedikit-sedikit sudah dapat berbicara dua arah dan sudah bisa melaksanakan perintah sederhana
e)    Sudah mulai dapat membaca walau artikulasinya kurang jelas dan mulai bisa menulis walau kadang-kadang masih berantakan
f)    Sudah tidak hiperaktif, bisa duduk lama di dalam gereja
g)    Bisa menghafal beberapa lagu anak-anak dan dapat menyanyikannya walau dengan ucapan yang belum jelas
h)    Bisa naik sepeda roda dua.
Sementara itu, alasan orang tua menyekolahkan anaknya di SLB Dharma Rena Ring Putra 2 Yogyakarta dikarenakan YK perlu bersosialisasi, kalau di SD umum jelas tidak mampu. Setelah sekian lama terapi di sekolah-sekolah autis, setahun yang lalu oranag tua YK memutuskan sekolah di SLB. Tetapi mungkin jika sudah berumur 12 tahun, nanti orang tua akan mengekolahkan YK ke Predovios atau sekolah tingkat SMP khusus anak autis, karena di sekolah ini akan lebih diarahkan kemana kira-kira kemampuan dan bakat dari anak didiknya.
Dari segi perkembangan, menurut orang tuanya, YK telah mengalami banyak perkembangan kemampuan komunikasi karena orang tua YK aktif melakukan terapi dan pengobatan alternatif, walau ada beberapa arikulasi yang tidak jelas tapi sudah menunjukkan kemampuan untuk berkomunikasi. Ketika wawancara berlangsung, YK sedang mengikuti terapi bicara seminggu 2 kali (senin dan rabu).
Selain menyekolahkan di sekolah khusus autis, orang tua YK juga mengusahakan memberikan terapi di luar. Menurutnya, orang tua YK, ia memanggil terapis ke rumah (les) seminggu 4 kali dari sekolah permata Ananda sejak tahun 2008. Sejak itu subjek banyak kemajuan misalnya menyebutkan warna-warna, bisa membaca dan menulis walau masih belajar. Tapi sejak bulan Maret 2011 terapisnya pindah ke Malaysia, diganti terapis yang lain sampai bulan agustus 2011.
Mulai oktober 2011 memakai guru sekolah di SLB Dharma Rena Ring Putra 2 untuk memberikan les di rumah seminggu 2 kali. Selain itu, YK juga mengikuti terapi bicara di Pusat Pengkajian dan Pengamatan tumbuh kembang anak di Jl. Langenarjan Lr No. 23 Yogyakarta seminggu dua kali (hari senin dan rabu).
3)    MIV
MIV dilahirkan di Jakarta pada 22 Mei 2004, yakni telah berusia 8 tahun saat ini. Menurut orang tuanya, kondisi MIV baru diketahui ada indikasi autistik ketika sudah menginjak usia 18 bulan. Setelah masuk ke SLB Dharma Rena Ring Putra 2 Yogyakarta MIV telah mengalami perkembangan dengan baik.
Menurut Ibu MIV alasan memilih sekolah di SLB Dharma Rena Ring Putra 2 Yogyakarta karena biaya yang dikenakan kepada siswa cukup terjangkau dibandingkan dengan SLB lainnya di Yogyakarta. Rincian biaya memang tidak disebutkan, namun menurut Ibu MIV biayanya memang lebih terjangkau.
Perkembangan yang dimaksud oleh orang tua MIV yaitu kemampuan berbicara dari MIV. Setelah masuk, orang tuanya memang telah melihat adanya perkembangan kemampuan berkomunikasi yang cukup baik dalam diri MIV. Hal tersebut dikarenakan terapi yang tepat yang diberikan oleh pihak sekolah dalam merangsang dan memacu agar anak cepat dapat berkomunikasi.
Selain mengandalkan sekolah dalam mendidik MIV, orang tuanya juga menggunakan terapi lain di luar sekolah. Hal tersebut untuk mengusahakan agar MIV cepat mampu beradaptasi serta berkomunikasi dengan lingkungannya.
b.    Guru
1)    MN
MN lahir di Yogyakarta 46 tahun lalu. Subjek bekerja sebagai guru honorer tidak tetap di salah sekolah SLB Darma Rena Ring Putra 2 Yogyakarta.
Pendidikan MN saat ini adalah D2. STAK/PAK 1985. Ia tertarik mengajar di SLB Dharma Rena Ring Putra 2 setelah melakukan penelitian tugas akhirnya. Kemudian ia memutuskan untuk mengajar atau menjadi guru di sekolah tersebut setelah lulus pada tahun 1996. Sebelumnya, ia pernah mengajar di kelas TK LB Autis
2)    APS
Subjek lahir di Yogyakarta pada 1989. Dengan demikian, saat ini APS telah berusia 23 tahun. APS menyelesaikan studi S1 di Pendidikan Luar Biasa UNY. Keputusan mengajar di SLB Dharma Rena Ring Putra 2 Yogyakarta setelah sebelumnya ia Kuliah Kerja Nyata di sekolah tersebut. Ia mulai mengajar pada tahun 2010. Sebelumnya juga pernah mengajar di kelas TK LB Autis.


C.    Hasil Penelitian
1.    Hasil Wawancara Dengan Guru
a.    MU
Menurut MN, MU termasuk kategori autisme berat. Sehingga dalam kesehariannya dalam berinteraksi masih sangat kurang. Menurut MN, MU, tidak mampu berinteraksi dengan baik. Dalam berinteraksi dengan guru, MU biasanya lebih banyak diam, bahkan ketika diminta untuk melakukan sesuatu masih sangat sulit untuk memahaminya. Seperti kutipan wawancara penulis dengan MN berikut ini:
“untuk interaksi anak dengan guru, tergantung pada anaknya sendiri. Karena anak autis bermacam-macam, ada ringan, sedang dan biasa. Tapi anak autis yang berat itu, untuk komunikasinya tidak bisa, kurang lancar, tapi untuk anak autis yang ringan komunikasinya lumayan. Untuk menyampaikan komunikasinya itu bagus. Dalam berinteraksi, MU cenderung pasif, jadi susah untuk berinteraksi dengan guru (MN/96/1-9)”.
Sedangkan menurut APS, kemampuan berinteraksi atau berkomunikasi bergantung pada karakteristik atau tipe autisme yang diderita oleh anak. Tipe autis seperti yang diderita oleh MU yang tergolong hipoaktif biasanya cenderung berdiam diri, pasif dan susah untuk melakukan interaksi dengan guru. Ketika diperintah pun, menurut MN, terkadang MU menuruti dan kadang juga mengabaikan. Seperti petikan wawancara penulis dengan APS.
“Dalam berinteraksi, MU memiiki sikap lebih diam, biasanya menghindar dari interaksi, contohnya ketika ada teman yang mendekati mereka biasanya cenderung menjauh atau menarik diri dari pergaulan dengan sesama teman-temannya. Ketika diperintah, MU biasanya yang hipo hanya menurut perintah, kadang bisa melaksanakan kadang tidak (APS/96./20-25)”.

Umumnya, ketika terjadi komunikasi, antara komunikan dengan komunikator terjadi kontak mata. Hal tersebut untuk memperkuat pesan yan ingin disampaikan. Demikian juga yang terjadi dengan anak autis, ada yang mempu memberi respon kontak mata, ada juga yang tidak mampu, seperti MU. Dimana ketika berkomunikasi sulit untuk melakukan kontak mata. Hal tersebut juga dipengaruhi karena Mu tidak mendapatkan terapi intensif seperti teman-temannya yang lain.
“MU memang belum pernah mendapatkan terapi di luar sekolah. Karenanya, ketika diajak komunikasi biasanya ia memalingkan muka atau tidak fokus terhadap objek yang diajak interaksi (APS/93-96/45-48)”.

Selain itu, anak autis juga memiliki kelemahan dalam membangun komunikasi timbal balik. Salah satunya dalam hal memberikan perhatian terhadap suatu objek. Tipe autisme seperti MU agak susah untuk memperhatikan terhadap suatu objek. Menurut MN, ketika MU diminta fokus kepada suatu objek, biasanya ia tidak mau kontak mata dan tidak mau memperhatikan objeknya (MN/97/61-63).
Kendala lainnya yang diderita anak autis ketika melakukan komunikasi yaitu adanya gerakan-gerakan aneh yang tidak ada kaitannya dengan topik pembicaraan. Hal tersebut merupakan gerakan reflek dari mereka. Gerakan-gerakan tersebut umumnya berupa gerakan tertentu yang diulang-ulang. Menurut APS, ketika ia bermaksud untuk mengajari anak, biasanya ia tidak menurut dan ia asyik dengan kegiatannya yang dilakukan secara berulang-ulang. Hal tersebut dijelaskan oleh APS dari petikan wawancara berikut ini:
“Ya mungkin selama saya mengajar, ada hal yang teramati dari gerakan anak tersebut seperti contoh anak autis itu identik dengan karakteristiknya yaitu sering melakukan gerakan repetitif atau diulang. Misalnya ketika anak itu menyukai suatu objek, saya ambil contoh misalnya mengambil bowling. Ketika diajak berinteraksi atau ketika kadang-kadang dia diam anak tersebut melakukan gerakan-gerakan repetitif, misalnya memukul-mukul benda tersebut, lah itu nampak seperti monoton, atau biasanya juga menepuk-nepuk dada (APS/97/73-85)”.
Anak autis juga memiliki masalah dengan kemampuannya. Dimana anak autis sulit mengembangkan kemampuan yang dimilikinya. Terlebih lagi anak autis dengan kategori berat. Dibutuhkan latihan atau terapi-terapi ekstra untuk membantu mereka mengembangkan kemampuannya tersebut. Menurut APS, MU sangat lambat perkembangan kemampuannya dibandingkan dengan teman-teman yang lain.
“pada dasarnya, untuk perumbuhan keahlian memang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik anak autis, namun biasanya mereka suka meniru atau imitasi, mereka biasanya melakukan permainan repetitif atau mengulangi perbuatan yang sama. Namun untuk MU memang sangat lambat perkembangannya (APS/97-98/92-98)”.
Dalam hal kemampuan bahasa, juga menunjukkan bahwa anak yang hipo sangat sulit untuk menggunakan bahasa. Apalagi menggunakan bahasa ekspresif. Menurut MN, dalam penggunaan bahasa, MU masih sangat kurang. Karenanya, dalam keseharian, ia terlihat lebih banyak diam dibandingkan dengan YK dan MIV. Berikut petikan wawancara dengan MN, “Kemampuan bahasa itu ada dua, ekspresif dan. Itu tergantung pada anaknya, misalnya MU masih kurang (MN/98/116-118).
Sementara mengenai kemampuan dalam menggunakan bahasa daripada anak autis yang berada di SLB Dharma Rena Ring Putra 2 Yogyakarta juga berbeda-beda. Menurut APS, karena MU tergolong sebagai autis tipe berat, kemampuan berbahasa masih kurang. Selain bermasalah dengan kemampuan menggunakan bahasa, jenis anak autis juga memiliki masalah dalam memahami bahasa baik yang digunakan oleh orang lain maupun digunakan sendiri dalam praktek komunikasi sehari-hari. Keterangan yang diperoleh penulis dari APS, misalnya menunjukkan adanya perbedaan tersebut. Menurut APS, perbedaan mereka dalam memahami bahasa tergantung pada pelatihan yang diberikan terhadap mereka. Kemampuan pemahaman mereka terhadap bahasa, bisa dikembangkan sebaik mungkin. Tapi ada juga mereka yang masuk di SLB Dharma Rena Ring Putra 2 Yogyakarta yang belum pernah dilatih atau sekolah sebelumnya. Akibatnya, memang ada perbedaan di antara mereka dalam memahami bahasa. Seperti petikan wawancara di bawah ini:
”Untuk pemahaman jelas, untuk setiap anak memilki kemampuan dan potensi yang berbeda-beda. Ada yang ketika masuk sekolah mereka memang sudah memiliki kemampuan dasar dalam berbahasa. Tapi ada anak yang memang dia sebelumnya tidak sekolah dan otomatis kemampuan akan bahasanya jujur, masih kurang. Jadi untuk pemahaman bahasa pada anak autisme di kelas kami sangat variatif. Untuk siswa yang lain seperti umar. Karena anak cenderung hipo aktif, jadi untuk kemampuan pemahaman bahasa pun cukup minim. Begitu juga hanya dengan Tegar (APS/98/124-136)”.
Dibandingkan dengan teman-temannya yang lain, MU biasanya tidak aktif seperti teman-temannya yang lain. Ia lebih banyak duduk sibuk dengan aktifitasnya sendiri. Dia biasanya diam saja, tapi kalau diberi instruksi tertentu biasanya memberikan reaksi tapi tidak memadai. Berikut petikan wawancara dengan MN, “Terus, kalau seperti Umar, karena anaknya kurang dalam berbahasa, biasanya duduk manis, diam. Kalau tidak disuruh biasanya dia diam (MN/99/147-150)”.
b.    YK
Menurut guru kelas SLB Dharma Rena Ring Putra 2 Yogyakarta yang mengampu kelas YK, interaksi antara siswa dengan guru biasanya menunjukkan adanya perbedaan antara anak yang satu dengan yang lainnya. Anak autis berat, biasanya tidak mampu berinteraksi dengan baik, sedangkan anak autis ringan cenderung dapat berkomunikasi dengan lebih baik. Dengan demikian, kemampuan berinteraksi atau berkomunikasi bergantung pada tingkat autisme mereka. YK karena termasuk tipe autis ringan, ia berinteraksi lebih baik dibandingkan dengan MIV dan MU. Seperti kutipan wawancara penulis dengan MN berikut ini:
“Menambahkan sedikit, berkaitan dengan anak autis. di kelas kami ada tipe anak autis hiperaktif dan hipo aktif. Untuk anak hiperaktif interaksinya lumayan, ketika di instruksi bisa merespon. Lalu ketika diberi perintah bisa melaksanakan (APS/96/10-15)”.
Sementara itu, dalam berainteraksi dengan teman sebaya, YK memiliki kemampuan di atas teman-temannya yang ain. Dimana YK dapat menjalin kontak dengan teman sebaya. Menurut APS, anak autis ringan dapat bergaul dengan teman, yang ditandai dengan bergurau sesama mereka. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh APS berikut ini: “Berkaitan dengan tipe anak, untuk anak autis kategori ringan, mereka bisa bergaul dengan teman, bisa bercanda-bercanda sedikit. Dalam beinteraksi dengan teman, teman YK masih bisa (APS/96/26-29)”.
Dari segi karakteristik dalam berinteraksi, perbedaan yang tampak antara anak autis dengan tipe hiperaktif dan hipo aktif ditandai dengan kemampuan menyerap perintah yang diberikan. YK misalnya dapat mengikuti pelajaran serta bisa memberikan feed back kepada guru yang memberi perintah. Hal tersebut terlihat dari bentuk perhatian dan kemampuannya dalam menerima perintah yang diebrikan guru. Seperti kutipan berikut: “dalam keseharian, YK bisa mengikuti pelajaran, bisa mengikuti perintah atau bisa berkumunikasi dengan baik (MN/96/38-40)”.
Dalam menjalin komunikasi, umumnya terjadi kontak mata antara komunikan dengan komunikator. Anak autis memiliki kekurangan dibandingkan dengan anak normal. Anak autis memiliki kesulitan untuk membangun kontak mata ketika diajak bicara. Namun demikian, kemampuan dalam menjalin kontak mata juga beraneka ragam antara anak autis ringan dan anak autis berat. Umumnya, untuk melatih agar anak peka dan mau melakukan kontak mata, dibutuhkan latihan secara optimal. Anak yang mendapat pelatihan secara optimal, akan berbeda dengan anak yang sama sekali dibiarkan tidak diberikan terapi khusus. Karenanya, anak seperti YK yang mendapat pelatihan intensif memang ada perbedaan dengan yang lainnya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan APS berikut ini:
“Untuk siswa yang sudah didiagnosa, dideteksi secara dini dan mendapat perhatian labih dari orang tua. YK menurut orang tuanya sudah dilatih untuk kontak mata di rumah dengan diikutkan terapi serta didatangkan ke rumah. Jadi ketika di sekolah ketika diajak komunikasi , ia sudah terbiasa dan bisa kontak mata sekitar 5-10 detik (APS/97/49-56).
Sementara itu, dalam memberikan perhatian kepada objek juga memiliki perbedaan antara autis tipe hiper dan hipo. Dalam hal ini, YK memang terlihat lebih memiliki kemampuan untuk memperhatikan lebih lama ketika guru menerangkan pelajaran atau memberikan intruksi tertentu kepada mereka. Seperti kutipan wawancara berikut:
“Ya untuk perhatiannya, tergantung pada anaknya juga, karena apabila anaknya berkeinginan atau memandang objek itu menyenangkan, biasanya dia mudah untuk memperhatikan objeknya (MN/97/59-68)”.

YK juga memiliki kemampuan yang lebih banyak dalam melakukan sesuatu dibandingkan dengan teman-temannya yang lain. Dalam prilaku kesehariannya pun terdapat perbedaan. Dimana ia sudah tidak lagi menunjukkan perilaku lata seperti yang terjadi pada anak autis pada umumnya. Berikut keterangan APS: “karena kemampuannya di atas rata-rata dua anak lainnya, maka YK sudah menunjukkan perilaku yang tidak lata seperti contoh di atas (APS/97/86-88)”.
Dalam hal kemampuan, ada anak autis yang memang memiliki kemampuan tertentu. Namun umumnya, kemampuan itu sulit untuk dipertahankan dalam jangka waktu lama. Selain itu, mereka juga sulit untuk mengembangkan kemampuan yang dimilikinya. Namun anak autis ringan lebih mampu mengembangkan bakat dan kemampuannya. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh latihan dan atau pelajaran-pelajaran yang diberikan guna meningkatkan kemampuan mereka. Dari wawancara penulis terhadap APS, dijumpai bahwa siswa autis yang ada di SLB/C Dharma Rena Ring Putra 2 Yogyakarta menunjukkan bahwa siswanya, yaitu YK, memiliki kemampuan di atas teman-temannya yang lain. Di mana, YK dapat memahami permainan basket detail dengan trik-triknya dalam permainan basket. Seperti petikan wawancara di bawah ini.
“Jadi kalau misalnya bertumbuh. Seperti ambil contoh misalnya siswa di kelas. Yosa: dengan usianya 10 tahun sesuai dengan pertumbuhan tubuhnya tinggi, terlihat bahwa yang paling menonjol dari Yosa yaitu pada saat pelajaran Olahraga. Yosa sangat mudah diarahkan untuk pelajaran bermain basket. Dia sudah bisa melakukan gerakan-gerakan dalam olahraga basket, misalnya mendribel bola, lalu dia bisa mampassing bola, pokoknya gerakan-gerakan basket, dia sudah bisa melakukan.  menguasai gerakan-gerakan basket. Memang belum ahli tapi bisa diarahkan. Itu dari segi keahliannya yang terus berkembang (APS/98/99-112)”.
Dijelaskan oleh MN, bahwa anak autis tipe hiperaktif memiliki pemahaman bahasa yang lebih baik daripada tipe autis hipo aktif. Dari tiga siswa yang ada di kelas autis, MIV dan YK memiliki kemampuan pemahaman bahasa yang lebih baik dibandingkan dengan MU. Menurut MN, “kemampuan menggunakan bahasa Yosa sudah bagus, ia sudah biasa menggunakan bahasa dengan menunjukkan suatu ekspresi (MN/98/119-121)”.
Hal tersebut menunjukkan bahwa YK memiliki kemampuan menggunakan bahasa yang lebih bagus dibandingkan dengan teman-temannya yang lain di SLB Dharma Ring II.  Dalam menggunakan bahasa, YK menurut APS sudah mampu mengembangkan kemampuan berbahasa ekspresif dan reseptif. Berikut kutipan wawancara:
“Seperti contoh siswa autis yang didiagnosa autisme hiperaktif seperti Ivan dan Yosa itu memiliki pemahaman bahasa cukup baik. Istilahnya mereka sudah mampu mengembangkan kemampuan berbahasa ekspresif dan reseptif (APS/98/137-141)”.
Sementara itu, dalam hal kepekaan terhadap keadaan yang ada di sekitarnya, YK telah menunjukkan adanya kemampuan untuk itu. Hal tersebut misalnya ditunjukkan oleh reaksinya terhadap sesuatu yang harus dipegang atau tidak. Dengan demikian, ia telah menyadari juga siapa yang ada di sampingnya. Seperti kutipan wawancara berikut: “Yosa sudah peka terhadap keadaan sekelilingnnya. Terus tau mana yang harus dia pegang, dan mana yang tidak (MN/99/151-153)”.
c.    MIV
Berdasarkan keterangan dari guru untuk kelas anak autis SLB Dharma Rena Ring Putra 2 Yogyakarta, interaksi antara siswa dengan guru biasanya menunjukkan adanya perbedaan antara anak yang satu dengan yang lainnya.  Menurut MN, bagi anak autis berat, biasanya tidak mampu berinteraksi dengan baik, sedangkan anak autis ringan cenderung dapat berkomunikasi dengan lebih baik. Dengan demikian, kemampuan berinteraksi atau berkomunikasi bergantung pada tingkat autisme mereka. Seperti kutipan wawancara penulis dengan MN berikut ini:
“MIV interaksinya lumayan, ketika diinstruksi bisa merespon. Lalu ketika diberi perintah bisa melaksanakan. Untuk hipoaktif karena cenderung pasif, jadi susah untuk berinteraksi dengan guru (APS/96/16-19)”.
Keterangan MN tersebut dikuatkan oleh APS bahwa kemampuan berinteraksi atau berkomunikasi bergantung pada karakteristik atau tipe autisme yang diderita oleh anak. Tipe anak yang hiperaktif biasanya lebih bagus dibandingkan dengan anak yang hipo aktif. Anak hiperaktif dapat merespon intruksi dan atau perintah yang diberikan oleh guru, sedangkan anak yang hipoaktif biasanya cenderung berdiam diri, pasif dan susah untuk melakukan interaksi dengan guru.
Interaksi anak autis dengan teman sebaya menunjukkan juga adanya perbedaan. Antara anak autis yang hiperaktif dan anak autis yang hipo aktif memiliki kemampuan berbeda dalam menjalin kontak dengan teman sebaya. Menurut APS, anak autis ringan dapat bergaul dengan teman, yang ditandai dengan bergurau sesama mereka. Berbeda dengan anak hipo aktif yang biasanya menyendiri dan menghindar dari pergaulan sesama mereka. Anak hipoaktif cenderung diam, dan tidak mampu membangun hubungan dengan teman sebaya. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh APS berikut ini:
“Berkaitan dengan tipe anak, untuk anak autis kategori ringan, mereka bisa bergaul dengan teman, bisa bercanda-bercanda sedikit. Keadaan MIV lebih baik dari MU namun tidak sama dengan YK. Ketika berinteraksi masih bisa (APS/96/26-29)”.
Dari segi karakteristik dalam berinteraksi, perbedaan yang tampak antara anak autis dengan tipe hiperaktif dan hipo aktif ditandai dengan kemampuan menyerap perintah yang diberikan. Anak autis dengan tingkat ringan dapat mengikuti pelajaran serta bisa memberikan feed back kepada guru yang memberi perintah. Sedangkan anak autis dengan kategori berat, kadang mengerti perintah, tapi kadang tidak memberikan respon yang sepantasnya, seperti penggambaran MN berikut ini mengenai kondisi anak autis dalam bereinteraksi di dalam kelas: “sama dengan YK, MIV masih bias mengikuti pelajaran yang diberikan guru di kelas. MIV biasa berinteraksi dengan guru selama pelajaran berlangsung (MN/96/41-44).
Dalam menjalin komunikasi, umumnya terjadi kontak mata antara komunikan dengan komunikator. Anak autis memiliki kekurangan dibandingkan dengan anak normal. Anak autis memiliki kesulitan untuk membangun kontak mata ketika diajak bicara. Namun demikian, kemampuan dalam menjalin kontak mata juga beraneka ragam antara anak autis ringan dan anak autis berat. Umumnya, untuk melatih agar anak peka dan mau melakukan kontak mata, dibutuhkan latihan secara optimal. Anak yang mendapat pelatihan secara optimal, akan berbeda dengan anak yang sama sekali dibiarkan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan APS berikut ini: “walaupun MIV tidak mendapatkan terapi tambahan di rumah, namun karena termasuk kategori autis sedang, maka terkadang dalam berkomunikasi ada kontak mata (APS/97/57-60)”.
Kekurangan lain dari anak autis juga dalam membangun komunikasi timbal balik, yaitu kurangnya perhatian terhadap suatu objek. Namun tidak semua objek diabaikan oleh anak autis. Ada objek yang dapat menarik mereka untuk memberikan perhatian. Menurut MN, anak autis biasanya akan memberikan perhatian lebih banyak pada objek yang disukai. Keterangan itu disampaikan oleh MN berikut ini: “tergantung objeknya, kalau dianggap menarik memang terlihat ada perhatian terhadap objek tersebut. Tapi kalau tidak menarik biasanya memalingkan muka (MN/97/69-73)”.
Anak autis juga mengalami kendala ketika melakukan komunikasi. Biasanya ia menunjukkan suatu gerakan-gerakan aneh yang tidak ada kaitannya dengan topik pembicaraan. Hal tersebut merupakan gerakan reflek dari mereka. Gerakan-gerakan tersebut umumnya berupa gerakan tertentu yang diulang-ulang. Menurut APS, ketika ia bermaksud untuk mengajari anak, biasanya ia tidak menurut dan ia asyik dengan kegiatannya yang dilakukan secara berulang-ulang. Hal tersebut misalnya terlihat pada diri MIV. Seperti terlihat dalam petikan wawancara, “MIV memang terkadang terlihat melakukan gerakan-gerakan yang aneh, namun sudah mulai berkurang (APS/97/89-91).
Pada umumnya, anak autis sulit untuk mempertahankan dan mengembangan kemampuan dalam jangka waktu lama. Selain itu, mereka juga sulit untuk mengembangkan kemampuan yang dimilikinya. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh latihan dan atau pelajaran-pelajaran yang diberikan guna meningkatkan kemampuan mereka. Berbeda dengan YK yang sudah mulai terlihat bakatnya di Basket, MIV hingga saat ini belum terlihat bakatnya. “MIV memang belum terlihat bakatnya. Tidak seperti YK yang memiliki bakat pada olahraga basket (APS/98/113-115).
Sementara itu, kemampuan dalam menggunakan bahasa daripada anak autis juga berbeda-beda. MIV dengan tingkat autisme ringan lebih baik dibandingkan dengan MU. Menurut MN, MIV sudah bagus dalam menggunakan bahasa atau dalam berbahasa. Seperti kutipan wawancara berikut: “dalam menggunakan bahasa Ivan sudah bagus dalam berbahasa (MN/98/122-123)”.
Dijelaskan oleh APS, bahwa anak autis tipe hiperaktif memiliki pemahaman bahasa yang lebih baik daripada tipe autis hipo aktif. Dari tiga siswa yang ada di kelas autis, MIV dan YK memiliki kemampuan pemahaman bahasa yang lebih baik dibandingkan dengan MU. Menurut APS, MIV dan YK sudah mampu mengembangkan kemampuan berbahasa ekspresif dan reseptif.
Sementara itu, dalam menghadapi atau berinteraksi dengan sekelilingnya, anak autis juga menunjukkan perbedaan kepekaan. Menurut MN, MIV memiliki kelebihan dibandikan dengan MU. MIV dan YK lebih peka terhadap keadaan di sekelilingnya atau lingkungannya. Namun MIV yang hiperaktif susah dikendalikan. 
“Untuk anak seperti MIV dan YK, itu dapat peka,… terhadap lingkungan. Terus tau mana yang harus dia pegang, dan mana yang tidak. Tapi kadang-kadang seperti MIV sendiri sulit untuk dikendalikan. Terus, kalau tapi seperti MU yang hipo, biasanya duduk manis, diam. Kalau tidak disuruh biasanya dia diam (MN/99/154-157)”.

2.    Hasil Observasi
a.    MU
Hasil pengamatan dilakukan di dalam kelas ketika berlangsung kegiatan belajar mengajar. Penulis mengamati secara seksama dengan panduan observasi yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, penulis menemukan hal-hal berikut:
1)    Interaksi dengan guru
a)    Dalam berinteraksi, MU biasa berinteraksi dengan guru tapi lebih banyak tidak memperhatikan.
b)    Menunjukkan reaksi tertentu ketika kebiasaannya dirubah. Apabila mainan kesukaannya direbut,anak autis akan marah.
c)    Tidak mampu menalar sesuatu. Masih susah menerima instruksi dari guru.
d)    Tidak menunjukkan reaksi tertentu ketika diminta untuk melakukan sesuatu. Tapi kadang bisa ketika disuruh nyanyi.
e)    Tidak mampu menghadapi dua hal sekaligus. Tidak menunjukkan adanya reaksi.
f)    Mampu secara efektif menggunakan indera penglihatan, tapi MU biasanya hanya diam saja.
g)    Tidak mampu secara efektif menggunakan indera perabaan, tidak menunjukkan reaksi terhadap indera perabaan.
h)    Tidak mampu secara efektif menggunakan indera pendengaran. Bisanya tidak menghiraukan apa yang disampaikan oleh guru.
2)    Interaksi dengan teman sekelas
a)    MU tidak bisa berinteraksi dengan teman sekelas. Ia menunjukkan lebih banyak diam dan cenderung susah untuk berinteraksi.
b)    MU tidak mampu menggunakan bahasa dalam berkomunikasi, ia lebih banyak diam.
c)    MU tidak mampu memahami bahasa ketika berkomunikasi. Hal tersebut juga disebabkan karena MU belum mendapat pelatihan atau terapi di tempat lain.
d)    MU tidak memiliki kemampuan menggunakan perilaku non verbal, ia susah untuk menalar sesuatu.
e)    Tidak mampu mengaktualisasi diri di depan teman-temannya ketika didekati ia malah menjauh dan Nampak acuh tak acuh.
3)    Interaksi selama pelajaran
a)    Tidak mampu memproses informasi yang diperoleh, ia belum bisa memproses informasi yang diperoleh.
b)    Tidak mampu memahami bahasa verbal atau lisan ketika menerima informasi yang panjang. Karena dalam keseharian ia selalu terlihat diam.
4)    Kontak dengan orang sekitar
a)    MU masih susah atau tidak bisa melakukan kontak mata dengan orang-orang di sekelilingnya.
b)    Tidak menunjukkan adanya reaksi tertentu ketika berhadapan dengan lawan bicara. Ia malah terlihat memukul-mukulkan meja.
c)    Tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Tidak memberikan reaksi yang memadai.
d)    Tidak mampu mengontrol diri, terutama ketika berhadapan dengan situasi tertentu.
5)    Perhatian terhadap objek
a)    Dalam berinteraksi, MU menunjukkan ketiadaan perhatian pada objeknya. Bahkan apabila diberikan mainan atau benda ia tetap tidak dapat berkonsentrasi.
b)    Tidak menunjukkan adanya pemahaman terhadap suatu objek. Ia terlihat lambat dalam merespon sesuatu.
c)    Dalam memahami suatu objek, ada perbedaan cara memahami antara objek dengan menggunakan visual atau tidak menggunakan. Namun dengan adanya media visual sangat membantu memahaminya.

D.    Pembahasan
Anak autis memiliki karakteristik tertentu dalam berkomunikasi antara lain; adanya permasalahan dalam berinteraksi, bermain dan berhubungan dengan orang lain, sebagaimana dijelaskan oleh APS bahwa siswa autis yang diampu tidak menunjukkan konsistensi dalam berinteraksi. Adakalanya anak autis menunjukkan kemampuannya, seperti biasanya mengikuti apa yang diperintahakan oleh guru. Namun juga terkadang membangkang atau sulit menuruti perintah guru.
Keterangan APS dikuatkan dengan hasil observasi yang dilakukan penulis dengan mengamati interaksi antara guru dengan siswa. Berdasarkan observasi tersebut, penulis menjumpai bahwa memang terkadang anak autis memberikan respon yang sesuai dengan yang diharapkan guru, namun terkadang anak autis  diam dan memperhatikan hal lain di sekelilingnnya. Seperti YK dan MIV cenderung dapat melakukan intruksi yang diberikan oleh guru. Sedangkan MU agak sulit, karena MU termasuk kategori autisme hipo.
Kedua, yaitu perilaku menghindar dari kontak mata serta tidak pernah peduli dengan orang-orang di sekelilingnya. Ketika guru memberikan perintah tertentu atau ngajak bicara anak autis, mereka menanggapi dengan melakukan kontak mata walaupun sepertinya tidak terlalu fokus perhatiannya kepada guru. Anak autis tidak melakukan kontak mata secara memadai dengan lawan bicaranya, yaitu guru maupun orang di sekelilingnya. Dari tiga siswa yang diteliti, ketiganya memiliki perbedaan. MU misalnya, lebih sulit untuk melakukan kontak mata dibandingkan dengan MIV dan YK. Hal tersebut disebabkan karena adanya perbedaan perlakuan yang dilakukan. Di mana MU tidak diberikan terapi, sedangkan MIV dan YK lebih banyak mendapatkant erapi.
Dari observasi yang dilakukan penulis juga menunjukkan bahwa ketika guru mencoba mendekati MU, ia tidak menghiraukan kehadiran guru. Biasanya, guru sering memegang pundak dan atau menjalin kontak dengan MU. Ketika MU merasasakan kehadiran guru, barulah terjadi kontak mata, namun berlangsung hanya beberapa saat. Sedangkan YK dan MIV, menunjukkan adanya reaksi yang lebih baik dibanding MU.
Ketiga, adalah bahwa anak autis tidak pernah benar-benar memperhatikan suatu objek pada saat ia memerlukan objek tersebut. Menurut APS, ketika anak autis asyik bermain, anak autis sulit untuk dialihkan perhatiannya. Namun untuk YK dan MIV, sudah ada perkembangan dalam hal perhatiannya terhadap objek. Namun untuk MU masih sangat sulit bahkan tidak menunjukan adanya perhatian seperti yang ditunjukkan oleh YK dan MIV.

Berdasarkan observasi yang dilakukan penulis, dijumpai bahwa MU memang tidak benar-benar memperhatikan suatu objek baik ketika di dalam kelas maupun di luar kelas. Kemampuan untuk memfokuskan perhatiannya terhadap suatu objek kadang tidak terlihat. Anak autis mudah mengalihkan perhatian kepada selain objek yang menjadi fokusnya kepada objek lainnya.
Dalam berkomunikasi, kadang-kadang anak autis berkomunikasi dengan baik, namun kadang-kadang juga tidak nyambung. Orang yang berbicara dengan anak autis dituntut untuk sabar, agar anak autis mau melakukan pembicaraan atau memberi perhatian kepada kitanya. Anak autis suka tidak nyambung dengan topik yang dibicarakan, karena apa yang ditanyakan kadang tidak direspon dengan baik. Menurut APS, faktor mood dari anak autis sangat penting dalam membangun komunikasi timbal balik dengan anak autis. 
Demikian juga dalam melakukan komunikasi verbal maupun non verbal. Dalam berkomunikasi verbal dan non verbal, misalnya disuruh untuk melakukan sesuatu dengan diberi isyarat tertentu, anak autis juga kesulitan untuk menirukan atau memahami perintah tersebut.
Sementara itu, anak autis dalam membangun komunikasi sosial dipengaruhi oleh:
a.    Berpikir visual (visual thinking) yaitu lebih mudah memahami hal kongkrit. Menurut APS siswa SLB Dharma Rena Ring II Yogyakarta sebenarnya sudah mampu dan lebih mudah melakukan komunikasi apabila menggunakan media visual, seperti yang ditunjukkan oleh YK dan MIV. Hal tersebut karena anak autis bisa memberikan perhatian lebih kepada objek visual yang digunakan.
b.    Memproses informasi (processing problems) yaitu anak autis mengalami kesulitan memperoleh informasi. Sebagaimana hasil wawancara dengan APS bahwa dalam memproses informasi yang diterima karena informasi yang diterima tidak berlangsung lama dalam ingatan mereka. Anak autis tidak bisa mengingat dalam jangka waktu lama. Oleh karena itu, biasanya anak autis sudah lupa terhadap pembicaraan yang lama. Akibatnya pembicaraan tidak akan berlangsung lancar. Seperti YK dan MIV, karena tipe hiperaktif, memang bias menangkap informasi, tapi tidak dapat memprosesnya dan menjadikan bahan feedback yang memadai.
c.    Anak autis juga mengalami kesulitan berkomunikasi (communication frustration) karena terhambatnya perkembangan dalam penggunaan bahasa. Komunikasi merupakan salah satu kesulitan yang dimiliki oleh anak autis (Delphie, 2006:1). Oleh karena itu perkembangan komunikasi pada anak autis sangat berbeda, terutama pada anak-anak yang mengalami hambatan yang berat dalam penguasaan bahasa dan bicara. Kesulitan yang dialami anak autis dalam berkomunikasi dikarenakan anak autis mengalami gangguan dalam berbahasa (verbal dan non verbal), padahal bahasa merupakan media utama dalam komunikasi. Anak autis sering kesulitan untuk mengkomunikasikan keinginannya baik secara verbal (lisan/bicara) maupun non verbal (isyarat/gerak tubuh dan tulisan). Rata-rata anak dapat berbicara, menggunakan kalimat pendek dengan kosa kata sederhana namun kosa katanya terbatas dan bicaranya sulit dipahami. Karena kosa katanya terbatas maka banyak perkataan yang anak autis ucapkan tidak dipahaminya. Anak autis yang dapat berbicara senang meniru ucapan dan membeo (echolalia). Beberapa diantara anak autis sering kali menunjukkan kebingungan akan kata ganti. Contoh, anak autis tidak menggunakan kata saya dan kamu secara benar, atau tidak mengerti ketika lawan bicaranya beralih dari kamu menjadi saya atau sebaliknya (Riyanti, 2002:16). Seperti halnya subjek penelitian ini, di mana ketiganya masih susah dalam berkomunikasi, bahkan MU misalnya sangat susah dalam berkomunikasi dan memahami komunikasi tersebut.
d.    Masalah emosi, siswa autis tidak mampu beradaptasi dengan baik. Anak autis, agak sulit beradaptasi dengan orang yang baru yang hadir di sampingnya, akibatnya biasanya anak autis suka marah-marah ketika ada orang baru. Keterangan APS menunjukkan bahwa anak auts seperti MU lebih memilih menghindar ketika ada kehadiran teman atau seseorang di sampingnya, sedangkan YK dan MIV sudah memberikan tanggapan dan bahkan lebih peka terhadap lingkungan eksternal.
e.    Anak autis susah mengontrol diri (problems of control). Hal tersebut disebaban karena adanya gangguan perkembangan neurology di otak. Anak autis mengalami ganggaun neurology di otak, akibatnya ia kesulitan dalam mengembangkan pemikirannya atau mengontrol dirinya sendiri. Dengan demikian, apabila ia merasa tidak cocok dengan suatu hal, maka ia melampiaskan dengan marah-marah, ngamuk-ngamuk dan lain sebagainya yang sifatnya negatif.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis dengan APS diketahui bahwa anak autis susah untuk mengontrol dirinya sendiri. Apabila ingin marah, mereka susah menahannya sekalipun di tempat yang banyak orang atau di depan kami (guru). Hal tersebut dikuatkan oleh observasi, di mana anak autis ketika mendapatkan stimuli atau suatu hal yang tidak cocok maka ia marah-marah dan mengeluarkan kata-kata kasar dan keras.
f.    Anak autis juga kesulitan dalam menalar (problems of connection) yaitu masalah yang berkaitan dengan kemampuan individu menalar antara lain : Masalah pemusatan perhatian, terus menerus terdistraksi. Kemampuan untuk menalar sesuatu merupakan suatu kecerdasan tersendiri bagi anak. Anak autis sulit menalar sesuatu yang ditugaskan kepadanya. Hal tersebut diakui oleh APS, “ya... misalnya juga lemah dalam menalar sesuatu. Anak autis tidak bisa menalar, karena semua kegiatan yang dilakukan bisa diamati”
Ada tipe anak autis yang memang cenderung suka berbicara, tetapi apabila didengarkan secara seksama, akan diketahui bahwa hanya semacam “igauan” saja bukan bahasa yang bermakna. Anak autis  hanya mampu mengulang-ulang kata yang didengarnya (membeo). Bagi anak autis yang belum mendapatkan pendidikan dan latihan ataupun terapi, anak autis bisa diibaratkan anak “aneh ” yang sulit disentuh dengan bahasa. Kondisi tersebut sangat memprihatinkan, mengingat bahasa adalah sarana komunikasi untuk menjalin interaksi sosial tidak terkecuali anak penyandang autisme. Oleh karena itu anak autis membutuhkan perhatian yang khusus terutama bahasa sehingga mampu mengungkapkan perasaan, emosi, dan pikirannya.
Namun demikian, menurut APS bahwa anak autis yang ada di SLB tempat ia mengajar menunjukkan menunjukkan adanya perkembangan bicara. Menurutnya, semakin sering dilatih, siswa akan mengalami perkembangan wicara. APS mencontohkan dengan YK dan MIV yang terus mengalami perkembangan. Berbeda dengan keduanya, MU memang sangat lamban perkembangan wicaranya. Karena ia juga menghindar apabila didekati.
Pada umumnya anak autisme mengacuhkan suara, penglihatan ataupun kejadian yang melibatkan anak autis. Jika ada reaksi biasanya reaksi ini tidak sesuai dengan situasi atau bahkan tidak ada reaksi sama sekali. Anak autis menghindari atau tidak merespon terhadap kontak sosial (pandangan mata, sentuhan kasih sayang, bermain dengan anak lain dan sebagainya).
Dalam memulai pembicaraan dibutuhkan suatu ide atau gagasan yang akan disampaikan kepada lawan bicara. Oleh karena itu, orang yang mampu memulai pembicaraan berarti ia memiliki tingkat intelegensia tertentu atau setara dengan anak normal lainnya. Anak autis sebagaimana pengakuan APS menunjukkan kurang mampu untuk memulai pembicaraan dengan yang lain. Kadang berkomunikasi dengan teman-temannya meskipun tidak nyambung.
Keterangan APS sesuai dengan temuan penulis di lapangan, di mana ketika tidak ada interaksi dengan guru, anak autis cenderung pendiam. Oleh karenanya, guru seringkali terlibat langsung dengan anak autis baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Ketika anak autis melakukan pembicaraan baik kepada guru maupun teman-temannya, anak autis sering mengulang kalimat yang sama.
Dalam menghadapi beberapa permainan, anak autis cenderung bermain monoton. Padahal menurut pengakuan subjek 4 bahwa di sekolahnya banyak permainan. “Di sekolah ini kan banyak permainan, ketika waktu istirahat, anak autis biasanya bermain bersama, walaupun tidak menunjukkan adanya kerjasama yang intens di antara mereka.
Ketiga, Pola minat perilaku yang terbatas yang ditunjukkan oleh salah satu dari tiga hal berikut: keasikan dengan satu atau lebih pola-pola minat yang terbatas; tampak tidak feleksibel atau kaku dengan rutinitas atau ritual  yang khusus; dan perilaku motorik yang streotif seperti memukul-mukulkan atau mengerak-gerakkan tangannya.
Anak autis biasanya sulit untuk menghadapi beberapa permainan. anak autis, bermain dengan mainan yang monoton. Fleksibelitas yang ditunjukkan oleh ritual anak autis yaitu berdo’a bersama sebelum dan sesudah belajar. Di saat merasa bosan, autis suka menyakiti dirinya sendiri. Demikian juga ketika sendirian atau tidak ada yang ngajak bicara, anak autis sering menggerakkan tangannya.


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa kemampuan komunikasi anak autis adalah sebagai berikut:
1.    Dari penelitian yang dilakukan penulis, menunjukkan bahwa di SLB Dharma Rena Ring II Yogyakarta ada dua jenis autis yaitu yang tipe hiperaktif dan hipo.
2.    Dari keterangan narasumber yaitu MN dan APS, diperoleh informasi bahwa YK dan MIV tergolong pada tipe autis yang hiperaktif sedangkan MU merupakan tipe autis yang hipo. Kedua tipe autis tersebut berpengaruh juga pada kemampuan berkomunikasi. YK dan MIV misalnya, lebih mampu berinteraksi dengan guru atau teman sebaya.
3.    Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan komunikasi sosial anak autis yaitu:
a.    berpikir visual (visual thinking) yaitu lebih mudah memahami hal kongkrit.
b.    Kesulitan memproses informasi (processing problems) yaitu anak autis mengalami kesulitan memperoleh informasi, anak autis tidak dapat memproses informasi dan menyimpannya dalam ingatan mereka.
c.    Kesulitan berkomunikasi (communication frustration) yaitu perkembangan bicara bahasa.
d.    Anak autis juga mengalami masalah emosi dan sosial (social & emotional issues) seperti terpaku pada objek.
e.    anak autis susah mengontrol diri (problems of control)
2.    kesulitan dalam menalar (problems of connection) yaitu masalah yang berkaitan dengan kemampuan individu menalar, seperti pemusatan perhatian, terus menerus terdistraksi.

A.    Saran
1.    Kepada guru
Guru hendaknya lebih memperhatikan kemampuan siswanya dalam berkomunikasi dengan sering mengajak anak autis untuk berkomunikasi. Guru juga harus lebih bersabar dalam membimbing dan mengajarkan agar anak autis bersosialisasi dengan teman dan orang lain di sekitarnya.
2.    Kepada orang tua
Orang tua agar memberikan kasih sayang secara untuk memotivasi dan mengajak berkomunikasi, lebih bersabar dalam mendampingi anak, memberikan terapi wicara dengan mendatangkan atau mengikutinya di tempat-tempat yang disediakan pemerintah sesuai dengan tingkat kesulitan anak autis.


DAFTAR PUSTAKA
   
Andri Priyatna. 2010. Let 's End Bullying: Memahami, Mencegah di Mengatasi Bullying,  Jakarta: PT Elex Media Komputindo

Anne Nurfarina. 2009. Visualisasi Iklan Televisi dan Ekspresi Seni pada Anak Penderita Autis, journal.itb.ac.id/download.php?file=D09094.pdf&id=955&up=8

Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Budiman M. 2000. Ciri – Ciri Anak Autis. www.apotik2000.com

Candless Mc, J. 2003. Children with starving brains (2nd ed) atau Anak-anak dengan otak yang lapar, terjemahan:  Wibowo, F., dkk. Jakarta: Grasindo.

Chaplin, J. P. 2001. Kamus Lengkap Psikologi, terjemahan: Kartini Kartono. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Danuatmaja, B. 2003. Terapi anak autis di rumah, Jakarta: Puspa Swara.

Effendy, O. 2000. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Fadhli, 2010. Buku Pintar Kesehatan Anak, Yogyakarta: Pustaka Anggrek.

Ginanjar, Adriana.S. 2008. Panduan Praktis Mendidik Anak Autis Menjadi Orang Tua Istimewa, Jakarta: Dian Rakyat.

Hadi, Sutrisno. 1992. Metodologi Research. Yogyakarta: Andi Offset.

Handojo, 2003.  Autisme. Jakarta: P.T. Bhuana Ilmu Populer.

I.G.A. Alit Suryawati, 2010. Model Komunikasi Penanganan Anak Autis Melalui Terapi Bicara Metode Lovaas Di Denpasar, Jurnal.

Jamila K. A Muhammad. 2008. Special Aducation for Special Children, Jakarta: Hikmah

Joseph A. Devito, 1997. Komunikasi antar manusia (edisi kelima), Jakarta: Profesional Books.

Maslim, 2001. Buku saku diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ III, Jakarta: PT.Nuh Jaya.

Moleong, Lexi J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Mulyana, Deddy. 2007. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Puspasari, Amaryllia. 2007.  Seri Membangun Karakter Anak, Mengukur Konsep Diri Anak. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Rachmat. 2006. Teknis Praktis Riset Komunikasi, Jakarta: Kencana

Richard West, & Turner, Lynn H. 2008. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi, Edisi 3, Buku 1, terj. Maria Natalia Damayanti Maer. Jakarta: Salemba Humanika.

Robbins, Stephen P. 2006. Perilaku Organisasi. Edisi kesepuluh, Jakarta: PT Indeks Kelompok Gramedia

Sadock, B.J. 2000. Kaplan and Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatri.  Volume ke 2. USA: Lippincott Williams and Wilkins Publisher.

Soekanto, S. 2004.  Pengantar Psikologi Umum, Jakarta: CV. Rajawali.

Safaria, T. 2005. Autisme: Pemahaman Baru Untuk Hidup Bermakna Bagi Orang Tua, Yogyakarta: Graha Ilmu.

Seroussi K. 2004. Untukmu Segalanya, Jakarta: Mizan Media Utama.

Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: BPFE.

Sutedja, Wira. 2006. Panduan Layanan Konsumen, Jakarta: PT. Grasindo.

Turner, Lynn, 2008, Pengantar Teori Komunikasi: Teori dan Aplikasi, Jakarta: Salemba Humanika.

Yatim, F. 2002. Autisme Suatu Gangguan Jiwa Pada Anak – Anak, Jakarta: Obor.

Yustinus Semiun, 2006. Kesehatan Mental 2, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

www://puterakembar.org/komunikasi, data diakses pada Januari 2012

http://www.anneahira.com/pengertian-autis.htm, data diakses pada Januari 2012

http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/komunikasi_bisnis/bab2-macam_macam_komunikasi.pdf, data diakses pada Januari 2012

http://psikologi.tarumanagara.ac.id/s2/wp-content/uploads/2010/09/33-efek-penerapan-compic-terhadap-kemampuan-komunikasi-anak-autis-non-verbal-veva-lenawaty-m-psi-dan-dr-endang-widyorini-psi.pdf, data diakses pada Januari 2012





















VERBATIM
Baris ke-    Subj    Hasil Wawancara    Tema
1



5

    MU    MN: untuk interaksi anak dengan guru, tergantung ada anaknya sendiri. Karena anak autis bermacam-macam, ada ringan, sedang dan biasa. Tapi anak autis yang berat itu, untuk komunikasinya tidak bisa, kurang lancar, tapi untuk anak autis yang ringan komunikasinya lumayan. Untuk menyampaikan komunikasinya itu bagus. Dalam berinteraksi, MU cenderung pasif, jadi susah untuk berinteraksi dengan guru.    interaksi anak autis dengan guru

10




15    YK    APS: Menambahkan sedikit, berkaitan dengan anak autis. di kelas kami ada tipe anak autis hiperaktif dan hipo aktif. Untuk anak hiperaktif interaksinya lumayan, ketika di instruksi bisa merespon. Lalu ketika diberi perintah bisa melaksanakan.     interaksi anak autis dengan guru

    MIV    APS: MIV interaksinya lumayan, ketika diinstruksi bisa merespon. Lalu ketika diberi perintah bisa melaksanakan. Untuk hipoaktif karena cenderung pasif, jadi susah untuk berinteraksi dengan guru.    interaksi anak autis dengan guru

20




25    MU    APS: Dalam berinteraksi, MU memiiki sikap lebih diam, biasanya menghindar dari interaksi, contohnya ketika ada teman yang mendekati mereka biasanya cenderung menjauh atau menarik diri dari pergaulan dengan sesama teman-temannya.    Interaksi dengan teman sekelas

    YK    APS: Berkaitan dengan tipe anak, untuk anak autis kategori ringan, mereka bisa bergaul dengan teman, bisa bercanda-bercanda sedikit. Dalam beinteraksi dengan teman, teman YK masih bias.    Interaksi dengan teman sekelas
30

    MIV    APS: Berkaitan dengan tipe anak, untuk anak autis kategori ringan, mereka bisa bergaul dengan teman, bisa bercanda-bercanda sedikit. Keadaan MIV lebih baik dari MU namun tidak sama dengan YK. Ketika berinteraksi masih bias.    Interaksi dengan teman sekelas
35

    MU    MN: ketika diperintah, MU biasanya yang hipo hanya menurut perintah, kadang bisa melaksanakan kadang tidak.     karakteristik interaksi anak autis selama berinteraksi di kelas



40    YK    MN: dalam keseharian, YK bisa mengikuti pelajaran, bisa mengikuti perintah attau bisa berkumunikasi dengan baik.     karakteristik interaksi anak autis selama berinteraksi di kelas
    MIV    MN: sama dengan YK, MIV masih bias mengikuti pelajaran yang diberikan guru di kelas. MIV bias berinteraksi dengan guru selama pelajaran berlangsung.     karakteristik interaksi anak autis selama berinteraksi di kelas

45

    MU    APS: MU memang belum pernah mendapatkan terapi di luar sekolah. Karenanya, ketika diajak komunikasi biasanya ia memalingkan muka atau tidak fokus terhadap objek yang diajak interaksi.    Kontak mata dengan orang di sekeliling

50




55    YK    APS: Untuk siswa yang sudah didiagnosa, dideteksi secara dini dan mendapat perhatian labih dari orang tua. YK menurut orang tuanya sudah dilatih untuk kontak mata di rumah dengan diikutkan terapi serta didatangkan ke rumah. Jadi ketika di sekolah ketika diajak komunikasi , ia sudah terbiasa dan bisa kontak mata sekitar 5-10 detik.    Kontak mata dengan orang di sekeliling



60    MIV    APS: walaupun MIV tidak mendapatkan terapi tambahan di rumah, namun karena termasuk kategori autis sedang, maka terkadang dalam berkomunikasi ada kontak mata.    Kontak mata dengan orang di sekeliling
    MU    MN: ketika diminta fokus kepada suatu objek, biasanya tidak mau kontak mata dan tidak mau memperhatikan objeknya.     perhatian anak autis terhadap objek

65
    YK    MN: Ya untuk perhatiannya, tergantung pada anaknya juga, karena apabila anaknya berkeinginan atau memandang objek itu menyenangkan, biasanya dia mudah untuk memperhatikan objeknya.    perhatian anak autis terhadap objek

70
    MIV    MN: tergantung objeknya, kalau dianggap menarik memang terlihat ada perhatian terhadap objek tersebut. Tapi kalau tidak menarik biasanya memalingkan muka.    perhatian anak autis terhadap objek


75




80



85    MU    APS: Ya mungkin selama saya mengajar, ada hal yang teramati dari gerakan anak tersebut seperti contoh anak autis itu identik dengan karakteristiknya yaitu sering melakukan gerakan repetitif atau diulang. Misalnya ketika anak itu menyukai suatu objek, saya ambil contoh misalnya mengambil bowling. Ketika diajak berinteraksi atau ketika kadang-kadang dia diam anak tersebut melakukan gerakan-gerakan repetitif, misanya memukul-mukul benda tersebut, lah itu nampak seperti monoton, atau biasanya juga menepuk-nepuk dada.    gerakan yang ditunjukkan oleh anak autis ketika berkomunikasi

    YK    APS: karena kemampuannya di atas rata-rata dua anak lainnya, maka YK sudah menunjukkan perilaku yang tidak lata seperti contoh di atas.    gerakan yang ditunjukkan oleh anak autis ketika berkomunikasi


90    MIV    APS: MIV memang terkadang terlihat melakukan gerakan-gerakan yang aneh, namun sudah mulai berkurang.    gerakan yang ditunjukkan oleh anak autis ketika berkomunikasi?



95


    MU    APS: pada dasarnya, untuk pertumbuhan keahlian memang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik anak autis, namun biasanya mereka suka meniru atau imitasi, mereka biasanya melakukan permainan repetitif atau mengulangi perbuatan yang sama. Namun untuk MU memang sangat lambat perkembangannya.    pertumbuhan keahlian anak autis

100




105




110
    YK    APS: Jadi kalau misalnya bertumbuh. Seperti ambil contoh misalnya siswa di kelas. Yosa: dengan usianya 10 tahun sesuai dengan pertumbuhan tubuhnya tinggi, terlihat bahwa yang paling menonjol dari Yosa yaitu pada saat pelajaran Olahraga. Yosa sangat mudah diarahkan untuk pelajaran bermain basket. Dia sudah bisa melakukan gerakan-gerakan dalam olahraga basket, misalnya mendribel bola, lalu dia bisa mampassing bola, pokoknya gerakan-gerakan basket, dia sudah bisa melakukan.  menguasai gerakan-gerakan basket. Memang belum ahli tapi bisa diarahkan. Itu dari segi keahliannya yang terus berkembang.    gerakan yang ditunjukkan oleh anak autis ketika berkomunikasi



115    MIV    APS: MIV memang belum terlihat bakatnya. Tidak seperti YK yang memiliki bakat pada olahraga basket.    gerakan yang ditunjukkan oleh anak autis ketika berkomunikasi
    MU    MN: Kemampuan bahasa itu ada dua, ekspresif dan. Itu tergantung pada anaknya, misalnya MU masih kurang.    kemampuan menggunakan bahasa

120    YK    MN: Kemampuan menggunakan bahasa Yosa sudah bagus, ia sudah bias menggunakan bahasa dengan menunjukkan suatu ekspresi.    kemampuan menggunakan bahasa
    MIV    MN: dalam menggunakan bahasa Ivan sudah bagus dalam berbahasa    kemampuan menggunakan bahasa

125




130




135    MU    APS: Untuk pemahaman jelas, untuk setiap anak memilki kemampuan dan potensi yang berbeda-beda. Ada yang ketika masuk sekolah mereka memang sudah memiliki kemampuan dasar dalam berbahasa. Tapi ada anak yang memang dia sebelumnya tidak sekolah dan otomatis kemampuan akan bahasanya jujur, masih kurang. Jadi untuk pemahaman bahasa pada anak autisme di kelas kami sangat variatif. Untuk siswa yang lain seperti umar. Karena anak cenderung hipo aktif, jadi untuk mkemampuan pemahaman bahasa pun cukup minim. Begitu juga hanya dengan Tegar.    pemahaman anak autis terhadap bahasa



140    YK    APS: Seperti contoh siswa autis yang didiagnosa autisme hiperaktif seperti Ivan dan Yosa itu memiliki pemahaman bahasa cukup baik. Istilahnya mereka sudah mampu mengembangkan kemampuan berbahasa ekspresif dan reseptif     kemampuan menggunakan bahasa



145    MIV    APS: Seperti contoh siswa autis yang didiagnosa autisme hiperaktif seperti Ivan dan Yosa itu memiliki pemahaman bahasa cukup baik. Istilahnya mereka sudah mampu mengembangkan kemampuan berbahasa ekspresif dan reseptif.    kemampuan menggunakan bahasa



150    MU    MN: Terus, kalau tapi seperti Umar, karena anaknya kurang dalam berbahasa, biasanya duduk manis, diam. Kalau tidak disuruh biasanya dia diam.    sikap terhadap sekelilingnya
    YK    MN: Yosa sudah peka terhadap keadaan sekelilingnnya. Terus tau mana yang harus dia pegang, dan mana yang tidak.     kemampuan menggunakan bahasa

155    MIV    MN: pada dasarnya Ivan sudah peka,… terhadap lingkungan. Terus tau mana yang harus dia pegang, dan mana yang tidak. Tapi Ivan sulit untuk dikendalikan.    kemampuan menggunakan bahasa












Subyek 1
Nama                                        : MN (47 tahun)
Tempat tanggal lahir                : Bantul 18/01/1965
Pendidikan                               : D2. STAK/PAK 1985
Sejarah awal mulai mengajar   : Sebelumnya pernah melakukan penelitian di                 SLB/C Darma Rena Ring Putra 2 Yogyakarta, dan menjadi guru di SLB tersebut.
Tahun mengajar                       : Desember 1996
 Pengalaman mengajar            : Mengajar kelas TK LB Autis
Subyek 2
Nama                                        : APS (22 tahun)
Tempat tanggal lahir                : Balik papan 14/10/1989
Pendidikan                               : S1, PLB UNY        
Sejarah awal mulai mengajar   : Sebelumnya pernah KKN di SLB/C Darma Rena Ring Putra 2  Yogyakarta, dan menjadi guru di SLB tersebut.
Tahun mengajar                       : 2010
 Pengalaman mengajar            : Mengajar kelas TK LB Autis
Subyek 3
Nama                                       : MU                      
Tempat  tanggal lahir               : Yogyakarta  02/03/1999 (13 tahun)
Mulai masuk                             : 2009       
Anak                                         : ketiga dari tiga bersaudara
Subyek 4
Nama                                     : YKDR
Tanggal lahir                          : Tangerang   21/07/2001 (10 tahun)
Mulai masuk                           : 2010
Anak                                       : ketiga dari tiga bersaudara
subyek 5
Nama                                     : MIW      
Tanggal lahir                          : Yogyakarta  22/05/2004 (7 tahun)
Mulai masuk                           : 2009       
Anak                                       : ketiga dari tiga bersaudara











.
Menurut Priatna (2010) karakteristik autis dalam berkomunikasi menunjukkan hal-hal berikut:
a.    Bagaimana interaksi anak autis dengan guru?
b.    Bagaimana interaksi anak autis dengan teman sekelas?
c.    Bagaimana karakteristik interaksi anak autis selama pelajaran di kelas?
d.    Bagaimana kontak mata anak autis dengan orang-orang di sekelilingnya?
e.    Bagaimana perhatian anak autis terhadap suatu objek?
f.    Bagaimana gerakan-gerakan yang ditunjukkan anak autis ketika berkomunikasi?
g.    Bagaimana gerakan-gerakan yang ditunjukkan anak autis ketika berkomunikasi?
h.    Bagaimana gerakan-gerakan yang ditunjukkan anak autis ketika berkomunikasi?
i.    Bagaimana pertumbuhan keahlian anak autis terkait dengan kemampuan yang sudah dikuasainya?
j.    Bagaimana perkembangan keahlian anak autis terkait dengan kemampuan yang sudah dikuasainya?
k.    Apakah anak autis bermain dengan mainan yang monoton?
l.    Apa saja permainan monoton yang dilakukan tersebut?
m.    Bagaimana kemampuan anak autis dalam penggunaan bahasa?
n.    Bagaimana pemahaman anak autis terhadap bahasa?
o.    Bagaimana sikap anak autis terhadap keadaan yang ada di sekelilingnya?.

Menurut PPGDJ-III dijelaskan bahwa kemampuan komunikasi sosial anak autis adalah sebagai berikut:
            a. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang ditunjukkan antara lain:
1)    Bagaimana prilaku non verbal anak autis?
2)    Bagaimana perkembangan hubungan anak autis dengan teman sebaya?.
3)    Bagaimana cara yang dilakukan anak autis untuk menunjukkan Kesenangan, Minat dan Keberhasilan secara spontan?
4)    Bagaimana kemampuan anak autis dalam membina hubungan sosial?
5)    Bagaimana kemampuan anak autis dalam menunjukkan emosi saat berkomunikasi?
b.    Gangguan kualitatif dalam berkomunikasi yang ditunjukkan oleh salah satu dari empat hal berikut:
1)    Bagaimana perkembangan bicara anak autis?.
2)    Bagaimana kemampuan anak autis dalam memulai pembicaraan dengan yang lain?.
3)    Apakah anak autis menggunakan bahasa yang berulang-ulang atau bahasa yang aneh (idiosyncantric)?
4)    Bagaimana cara bermain anak autis?
c.    Pola minat perilaku yang terbatas yang ditunjukkan oleh salah satu dari dua hal berikut:
1)    Bagaimana pola dan minat anak autis terhadap sesuatu?
2)    Apakah anak autis menunjukkan perilaku motorik yang stereotip seperti memukul-mukulkan atau mengerak-gerakkan tangannya? Bagaimana perilaku tersebut?
Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan komunikasi sosial pada anak autis menurut Siegell dalam http://psikologi.tarumanagara.ac.id/s2/wp-content/uploads/2010/09/33-efek-penerapan-compic-terhadap-kemampuan-komunikasi-anak-autis-non-verbal-veva-lenawaty-m-psi-dan-dr-endang-widyorini-psi.pdf yaitu antara lain:
a.    Berpikir visual (visual thinking)
1.    Apakah ada perbedaan cara memahami antara objek dengan menggunakan visual atau tidak menggunakan?
b.    Kesulitan memproses informasi (processing problems)
1.    Bagaimana kemampuan anak autis dalam memproses informasi yang diperoleh?
2.    Apakah anak autis mampu memahami bahasa verbal atau lisan ketika menerima informasi yang panjang?




c.    Kesulitan berkomunikasi (communication frustration)
1.    Bagaimana kemampuan anak autis dalam mengaktualisasi diri di depan teman-temannya?
2.    Bagaimana reaksi anak autis ketika berhadapan dengan lawan bicara?
d.    Masalah emosi dan sosial (social & emotional issues)
1.    Bagaimana kemampuan adaptasi anak autis terhadap lingkungannya?
2.    Bagaimana kemampuan enak autis dalam berempati terhadap keadaan lingkungannya?
e.    Kesulitan dalam mengontrol diri (problems of control)
1.    Bagaimana kemampuan anak autis dalam mengontrol diri, terutama ketika berhadapan dengan situasi tertentu?
2.    Bagaimana reaksi anak autis ketika kebiasaannya dirubah?
f.    Kesulitan dalam menalar (problems of connection)
1.    Bagaimana kemampuan anak autis dalam menalar sesuatu?
2.    Bagaimana reaksi anak autis ketika diminta untuk melakukan sesuatu?
3.    Bagaimana kemampuan dalam memusatkan perhatian?
g.    System integration problems
1.    Bagaimana kemampuan anak autis ketika menghadapi dua hal sekaligus?
2.    Bagaimana efektifitas penggunaan indra penglihatan anak autis?
3.    Bagaimana efektifitas penggunaan indera perabaan anak autis?
4.    Bagaimana efektifitas penggunaan indera pendengaran anak autis?.





















1.    Pengamatan dilakukan di dalam kelas ketika berlangsung kegiatan belajar mengajar. Peneliti mengamati secara seksama dengan panduan form observasi yang telah dipersiapkan terlebih dahulu.

No    Pernyataan    ya    tdk    Ket.
1.        Berinteraksi dengan guru           
2.        Beinteraksi dengan teman sekelas           
3.        Melakukan kontak mata dengan orang-orang di sekelilingnya           
4.        Menunjukkan ketiadaan perhatian pada objeknya           
5.        Mampu menggunakan bahasa dalam berkomunikasi           
6.        Mampu memahami bahasa ketika berkomunikasi           
7.        Memiliki kemampuan penggunaan perilaku non verbal           
8.    Memiliki tingkat pemahaman tertentu terhadap suatu objek           
9.    Ada perbedaan cara memahami antara objek dengan menggunakan visual atau tidak menggunakan           
10.     Mampu memproses informasi yang diperoleh           
11.    Mampu memahami bahasa verbal atau lisan ketika menerima informasi yang panjang           
12.    Mampu mengaktualisasi diri di depan teman-temannya           
13.    Menunjukkan reaksi tertentu ketika berhadapan dengan lawan bicara           
14.    Mampu beradaptasi dengan lingkungannya           
15.    Mampu mengontrol diri, terutama ketika berhadapan dengan situasi tertentu           
16.    Menunjukkan reaksi tertentu autis ketika kebiasaannya dirubah           
17.    Mampu menalar sesuatu           
18.    Menunjukkan reaksi tertentu ketika diminta untuk melakukan sesuatu           
19.    Mampu menghadapi dua hal sekaligus           
20.    Mampu secara efektif menggunakan indera penglihatan           
21.    Mampu secara efektif menggunakan indera perabaan           
22.    Mampu secara efektif menggunakan indera pendengaran           












2.    Pengamatan dilakukan ketika anak autis berada di luar ruang kelas. Dimana observer mengamati dari jarak dekat, interaksi yang dilakukan oleh anak autis dengan lingkungannya.

No    Pernyataan    ya    tdk    Ket.
1.        Bermain dengan mainan monoton setiap hari           
2.        Menunjukkan adanya perkembangan hubungan dengan teman sebaya           
3.        Mampu membagi kesenangan secara spontan           
4.        Mampu membagi minat secara spontan           
5.        Mampu membagi keberhasilan secara spontan           
6.        Mengalami perkembangan wicara           
7.        Mampu memulai pembicaraan dengan teman sebaya           
8.        Menggunakan bahasa yang berulang-ulang ketika berkomunikasi           
9.        Menggunakan bahasa aneh ketika berkomunikasi           
10.        Mampu bermain dengan teman sebaya           
11.        Fleksibel dalam melakukan rutinitas yang khusus           
12.        Fleksibel dalam melakukan ritual yang khusus           
13.        Menunjukkan perilaku motorik yang streotip seperti memukul-mukulkan tangannya           
14.        Menunjukkan perilaku motorik yang streotip seperti mengerak-gerakkan tangannya           
15.        Mampu membina hubungan emosi yang timbal balik